Laman

Selasa, 12 April 2011

Konsep Wilayatul Faqih dan Ijtihad Imam Ayatullah Khumaini

Pandangan Akal
“Tentu saja, adalah jauh dari akal kalau Tuhan menjadikan seorang yang jahil, dhalim, dan fasik sebagai wali dan hakim muslimin; sebagai penanggungjawab jiwa dan harta benda mereka serta memperhatikan dengan penuh jiwa dan harta masyarakat.
Adalah jauh juga dari a...kal bahwa undang-undang seperti itu akan dilaksanakan. Kecuali bila berada di tangan alim dan adil.” (Imam Khomeini qs, Kitab Bai’, j.2 h.465).

Karena hukumah/ pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya, berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan.
Karena tujuan daripada undang-undang tersebut adalah mengantarkan masyarakat manusia kepada kesempurnaan (Allah), maka waliyu al-faqih haruslah memiliki kesempurnaan maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah orang yang paling dekat kepada Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as. Inilah makna daripada wali. Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan akal, merupakan keniscayaan dan keharusan.
Mencegah Kediktatoran
Orang-orang yang tidak mengetahui tujuan Islam pasti akan mengira bahwa wilayat al-faqih merupakan sebuah bentuk kediktatoran. Padahal, sebenarnya ia mencegah munculnya kediktatoran. Justru bila tidak ada wilayah al-faqih, maka yang muncul adalah pemerintahan tiran.
Hukumah Islam adalah pemerintahan perundangan Ilahi, Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pemerintahan seperti ini, Rasulullah saww dan Amirul Mukminin as pun menaati dan mengikuti undang-undang tersebut. Mereka tidak bisa menyeleweng, bahkan hanya untuk satu langkah pun. Allah berfirman: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang ia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat-tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (QS Al-Haaqah 44-47).
Tidak ada kediktatoran dalam Islam. Mereka yang hendak menjadi penjaga Islam tetapi kemudian menjadi diktator, maka, berdasarkan hukum Islam, ia jatuh.
Wilayah al-Faqih dalam Riwayat
Ketika ghaib-nya Imam Mahdi as, apa kewajiban (taklif) umat Islam, dan mereka harus ruju’ (kembali) kepada siapa dalam menghadapi masalah-masalah?
Berdasarkan riwayat yang diterima dari Umar bin Khantalah, Imam Ja’far as bersabda: “Dalam perbedaan/perselisihan riwayat hadits kami, harus kembali kepada mereka yang mengetahui halal-haram berdasarkan kaidah hukum kami, atas pertimbangan akal dan syari’at.” Maka dengan demikian, ulama terpilih sebagai pemerintah: “Sesungguhnya telah kujadikan kalian sebagai hakim (pemerintah).” Dan mereka yang memiliki syarat ini, telah terpilih dari sisi kami untuk permasalahan pemerintahan dan pengadilan muslimin; dan muslimin tidak memiliki hak untuk ruju’ selain dari mereka.
Dalam Shahih Qaddah dan riwayat Abu Bukhtara disebutkan: “Al-ulama waratsatul anbiya’”. Tidak diragukan lagi bahwa masalah wilayah berdasarkan pandangan akal –seperti harta warisan yang dapat dipindahkan dari satu orang kepada yang lain– adalah dapat dipindahkan.
Bila seseorang memperhatikan ayat suci ini: “An-Nabi awla bilmukminin min anfusikum.” Dan mengetahui riwayat ini: “Al-ulama waratsatul anbiya.”, maka akan memahami tentang hal i’tibariyah ini yang, berdasarkan akal, dapat dipindahkan.
Dalam Qawaid Naraqi hal. 186, dari Fiqih Ridhawi, diriwayatkan: “Maqam (posisi) faqih di zaman ini seperti posisi anbiya Bani Israil. Umumnya riwayat ini memahamkan kita bahwa masalah pemerintahan dan wilayah bagi masyarakat yang dimiliki Nabi Musa as, adalah juga ada pada fuqaha.
Amirul Mukminin berkata: “Rasulullah bersabda: Ya Allah, rahmatilah para khalifahku.” Kata-kata ini diulang sampai tiga kali. Ditanyakan kepada beliau: “Siapa khalifah Rasulullah.” “Mereka yang sesudahku mengutarakan hadits dan sunnahku, mereka yang mendidik umat (masyarakat) sesudahku.”
Tidak diragukan lagi bahwa khalifah di sini adalah dalam semua masalah kenabian, bukan hanya dalam menjelaskan masalah-masalah.
Dalam sebuah riwayat, Imam Musa bin Ja’far berkata: “Fuqaha adalah benteng Islam, sebagaimana benteng melindungi kota.”
Apakah faqih yang duduk di dalam rumah bak harta karun dan tidak ikut terlibat dalam permasalahan kemasyarakatan muslimin serta tidak memperhatikan urusan mereka, dapat digolongkan sebagai benteng Islam? Merekakah penjaga Islam?
Imam Shadiq as, dari Rasulullah saww bersabda: “Fuqaha menjadi kepercayaan dan menjadi penerima amanat Rasul ketika mereka tidak memasuki (ketamakan, kelezatan, dan kekayaan) duniawi.” Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, masuknya mereka ke dalam dunia itu bagaimana?” Beliau menjawab: “Mengikuti kekuatan pemerintah. Karena itu, apabila mereka telah berbuat begitu, maka mereka akan takut kepada agamamu dan menghindarkan diri.”
Berdasarkan hukum akal dan kewajiban-kewajiban agama, tujuan dari bi’tsah (pengutusan) dan tugas Nabi, bukan hanya sebagai pembicara; sehingga dapat dikatakan ketika ia meletakkan amanatnya kepada fuqaha (yang dipercaya), adalah berarti bahwa dipercaya dalam menyampaikan masalah (juru bicara) saja. Pada hakikatnya, kewajiban anbiya adalah menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan yang adil, dengan menjalankan undang-undang dan hukum Ilahi.
Rasul terkena kewajiban untuk melaksanakan hukum dan menegakkan sistem islami, dan ia ditentukan Allah sebagai pemimpin dan hakim (pemegang hukum) bagi muslimin; menaatinya adalah wajib. Maka faqih adil seharusnya menjadi hakim dan melaksanakan hukum serta membentuk sistem masyarakat Islam.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha as dikatakan: “Bagi masyarakat diperlukan imam yang berdiri (bangkit memimpin), penjaga dan dipercaya.”
Dalam riwayat sebelumnya, dikatakan bahwa fuqaha adalah orang yang dipercaya Rasul. Dengan sughra dan kubra (premis minor dan mayor) ini, dapat disimpulkan: fuqaha harus menjadi pemimpin masyarakat, sehingga tidak membiarkan Islam hancur dan hilang hukum-hukumnya.
Dalam kitab: Akmal ad-Din wa Itmam an-Ni’mah, Ishaq bin Ya’kub menulis surat kepada Wali Ashr (Imam Mahdi) as tentang masalah yang ditanyakan kepadanya, dan Muhammad bin Utsman (wakil Imam Mahdi) menyampaikannya. Jawaban surat tadi dikeluarkan dengan tulisan Imam sendiri: “Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi (kemasyarakatan), kembalilah kepada rawi hadits kami. Karena mereka adalah hujjah bagi saya, dan saya adalah hujjah Allah.”
Hujjah Allah adalah seorang yang ditunjuk oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Semua pekerjaan, tindakan, dan kata-katanya adalah hujjah bagi muslimin. Apabila seseorang menyeleweng darinya, maka ia harus bertanggung jawab (memberikan alasan dan jawaban/dalil). Apabila sebuah pekerjaan telah diperintahkan, maka kerjakanlah. Hudud harus dilaksanakan. Ghanimah, zakat, dan sedekah harus dialokasikan dengan tepat. Bila kalian menentang dan menyeleweng, maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya di hari kiamat nanti. Bila hujjah telah ada, tetapi masih berpaling kepada sistem yang dhalim dalam menyelesaikan permasalahan, maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya. Padahal, Saya telah menentukan hujjah bagi kalian, tetapi mengapa kalian tetap kembali kepada kedhaliman dan peradilan penindas.
Hari ini, fuqaha Islam, bersumber dari Imam as, menjadi hujjah bagi masyarakat. Semua hal dan urusan-urusan muslimin telah diberikan kepada mereka: pemerintahan, berjalannya urusan muslimin, mengambil dan menggunakan harta umum. Barangsiapa menentang/menyeleweng, maka di hari kiamat nanti harus bertanggungjawab kepada Allah. Sebagaimana, Rasulullah adalah hujjah Allah dan semua pekerjaan/hal diserahkan kepadanya. Barangsiapa yang menyeleweng, maka ia harus bertanggungjawab kepada Allah. (Imam Khomeini, Kitab Bai’, j. 2 h. 467-476).
Karena itu, wahai kalian (ulama dien), dukunglah kami dengan tujuan ini. Bangkitlah atas tekanan penguasa yang sedang menindas kalian dan mereka yang berusaha memadamkan api kerasulan. Cukup bagi kami Allah Yang Esa. Kepada Dia kami bersandar. Kepada Dia kami menuju. Nasib ada di tangan-Nya dan kembali kepada-Nya. (Imam Khomeini, Wilayat Faqih, h. 148-154: Khutbah Imam Husain).
Syarat Wali al-Faqih
Ketika pemerintahan Islam adalah pengaturan Ilahi, yakni pemerintahan Islam adalah untuk melaksanakan undang-undang dan mengamalkan keadilan Ilahi di tengah-tengah masyarakat, maka wali al-faqih haruslah memiliki dua sifat dasar. Keduanya merupakan dasar pemerintahan undang-undang yang tanpanya, menurut akal, pemerintahan Islam tidak akan terbentuk. Keduanya adalah: pertama, ilmu terhadap undang-undang tersebut, dan, kedua, keadilan (‘adalah).
Tentunya, ilmu tersebut dalam artian yang luas, yang mencakup permasalahan:
1. Kifayah (memenuhi standar kepemimpinan, leadership).
2. Shalahiyat (berkelayakan untuk memimpin).
Hal itu tidak mungkin ditinggalkan bagi seorang hakim, sehingga dapat dijadikan kriteria ketiga bagi pemimpin. Tentunya, pemimpin dalam artian adil juga mencakup hal yang positif dalam artian akal, seperti berani, melaksanakan tradisi dan perundangan agama, atau keluarnya sifat-sifat negatif akhlak, seperti bakhil dan menerima raswah (sogok).
Sebenarnya, dua dasar sifat tersebut telah merupakan hal yang musalam (disepakati), yang sudah harus ada pada pemimpin Islam. Jadi, pemimpin Islam harus faqih dan adil.
Kewajiban Kifa’i Membentuk Pemerintahan
Faqih merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas wilayah dan penjagaan muslimin. Menegakkan pemerintahan Islam merupakan kewajiban kifayah bagi semua fuqaha adil. Ketika seseorang faqih berhasil membentuknya, faqih yang lain wajib mengikutinya. Dan bila tegaknya suatu pemerintahan memerlukan kelompok fuqaha, mereka harus bersama berusaha menegakkannya. Apabila kemungkinan untuk menegakkannya tidak ada, kewajiban tidaklah jatuh. Sekalipun penegakannya terhalang, maka ketika itu, setiap mereka memiliki wilayah terhadap muslimin. Mereka dapat menggunakan fasilitas Baitul Mal agar dapat melaksanakan hudud, undang-undang pidana, termasuk juga perekonomian wilayah dan pemerintahan yang menyangkut kehidupan muslimin.
Kewajiban Wali al-Faqih
*Para imam dan fuqaha adil memperhatikan bahwa sistem dan birokrasi pemerintahan untuk melaksanakan ahkam Ilahi, terlaksananya struktur keadilan Islam, dan khidmat kepada umat.
*Menghilangkan kebatilan dan memastikan terlaksananya kebenaran.
* Menyelamatkan madhlumin (yang tertindas) dari penindasan dhalimin (penindas).
* Tidak diam atas perbedaan masyarakat (dhalim-menindas dan lemah-ditindas)
* Mengembalikan dan meletakkan pada tempatnya dasar cahaya agama.
* Perbaikan pada kelalaian sehingga perjalanan syariat pada posisinya.
* Menegakkan pemerintahan.
* Tidak untuk mencari kekuatan politik, kenikmatan dunia, atau pendapatan lebih.
* Memperhatikan permasalahan ibadah fiqhiyah, siyasah, iqtishadiyah, dan hak-hak Islam.
* Menghilangkan kesalahpahaman terhadap Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar