Laman

Selasa, 19 April 2011

Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah

Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah


Buku karya A. Syarafuddin Al-Musawi yang berada di hadapan Anda ini merupakan buku
kedua dalam edisi Indonesia yang kami terbitkan, setelah buku pertamanya, Dialog Sunnah-
Syi'ah, terbit pada tahun 1983. Dalam edisi aslinya yang berbahasa Arab, buku ini telah
mengalami cetak ulang lebih dari enam kali dan terdapat penambahan-penambahan di sanasini
yang dilakukan oleh pengarangnya.
Untuk lebih memberikan kenyamanan Anda dalam membaca buku ini, kami, Penerbit Mizan,
melakukan beberapa pengubahan sistematika isi buku tanpa mengubah kandungan
pokoknya. Yang kami ubah hanyalah Pasal VIII --dalam terbitan ini kami menggunakan
istilah Bab-- dengan memecahnya menjadi tiga bagian. Kemudian, sub-sub bab dari masingmasing
Bab VIII tersebut kami kelompokkan sesuai dengan kemiripan soal-soal yang dibahas.
Sehingga, buku aslinya yang semula terdiri atas dua belas pasal, sekarang ini menjadi empat
belas pasal atau bab.



Selain perubahan di atas, dalam Bab IX buku ini, kami memuatkan satu lampiran yang berisi
pendapat Sayyid Sabiq --salah seorang tokoh fiqih ahlus-sunnah-- tentang nikah mut'ah, yang
kami ambil dari buku-karyanya, Fiqh As-Sunnah. Pemuatan ini, kami maksudkan sebagai
bahan studi perbandingan.
Harapan kami, semoga dengan adanya perubahan ataupun penambahan di atas, buku ini
akan dapat lebih banyak menyumbangkan manfaatnya bagi para pembaca.


Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 1


Daftar Isi
Tentang Penulis.............................................................................................................................3
Mukadimah....................................................................................................................................5
Persatuan dan Persaudaraan Di Antara Kaum Muslim................................................................8
Penjelasan Tentang Makna Islam dan Iman................................................................................13
Jaminan Keselamatan Bagi Pengucap La Ilaha Illallah...............................................................17
Keterangan Para Imam Ahlul-Bayt tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah..........................25
Jaminan Masuk Surga bagi Setiap Muslim.................................................................................27
Larangan Pengkafiran terhadap Para Pengucap Syahadatain....................................................37
Hadis-hadis Nabi SAWW yang Menggembirakan Kaum Syi'ah.................................................53
Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar....................................................................61
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 2
Tentang Penulis
Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi dilahirkan pada tahun 1290 H di kota
Kazhimiah, Irak, dari kedua ibu-bapak yang silsilah keturunannya bersambung kepada
Rasulullah SAWW. Sejak usia delapan tahun, ia telah mempelajari berbagai ilmu tentang
bahasa Arab, balaghah, logika, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, di kota Amila, sebelah
selatan Libanon. Mencapai usia tujuh belas tahun, ia pun berkeliling ke Najaf, Samira, dan
kota lain di Irak, untuk melanjutkan pelajarannya.
Sejak itulah ia kemudian dikenal sebagai seorang pemuda yang disegani di kalangan
terpelajar karena pengetahuannya yang luas, kecerdasannya yang memikat, ketelitiannya
dalam pembahasan, keunggulannya dalam berdiskusi, di samping watak santun dan
akhlaknya yang mulia. Dalam usia tiga puluh dua tahun ia kembali ke tempat kelahirannya,
atas perintah ayahnya. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh penduduk termasuk
para alim-ulama dan para pemuka daerah setempat. Kefasihannya berpidato, ketegasannya
membela kebenaran, kasih-sayangnya kepada kaum lemah, dan keteguhannya dalam beramru
bil ma'ruf, nahi 'anil munkar, serta sikap tawadhu'nya di hadapan para ulama,
membuatnya menjadi seorang mujtahid yang amat disegani.
Pada tahun 1329 H, di saat memuncaknya tekanan-tekanan pemerintah kolonial yang kejam
terhadap dirinya, ia pun memutuskan untuk pergi ke Mesir. Sesampainya di Mesir, ia pun
disambut meriah oleh para alim-ulama, dan bahkan berkesempatan pula bertemu dengan
Rektor Al-Azhar waktu itu, Syaikh Salim Al-Bisyri Al-Maliki. Pertemuan itu kemudian
dilanjutkan dengan perbincangan-perbincangan menarik antara keduanya, yang akhirnya
membuahkan buku Dialog Sunnah-Syi'ah yang sangat terkenal itu.
Walaupun kehidupannya sarat akan kesulitan-kesulitan, tapi ia tetap bergiat dalam bidang
ilmu pengetahuan. Ada berpuluh-puluh karyanya, yang tema-tema bahasannya kebanyakan
mengutamakan persatuan ataupun pendekatan antara kelompok-kelompok yang saling
berbeda paham, di antaranya: Al-Kalimah Al-Gharra' fi Tafdhil Al-Zahra', Al-Nash wa Al-
Ijtihad, Abu Hurairah, dan Masail Fiqhiyyah.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 3
la meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 1957, dalam usia delapan puluh tujuh tahun, di
Amila, Libanon. la dimakamkan di pemakaman keluarga di Najaf, Irak.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 4
Mukadimah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam atas pribadi
paling utama di antara semua makhluk-Nya, Muhammad serta keluarganya yang diberkati.
Tak seorang pun meragukan bahwa persaudaraan dan kerukunan di antara sesama umat,
merupakan faktor utama dalam penciptaan keserasian dalam pembangunan, pendorong ke
arah peningkatan kualitas, pembangkit gairah menuju kemajuan, pembawa kebahagiaan
sempuma serta pembebas dari kehinaan akibat aneka penjajahan asing.
Tanpa adanya kesatuan pandangan, pendekatan dalam pikiran dan perasaan dan tanpa
kekuatan tekad bersama untuk bangkit membela kepentingan umat serta menegakkan
kalimat Allah, mustahil bumi kita ini akan bergetar dalam kegembiraan, langit akan
menurunkan hujan kemakmuran, memancarkan mata air rahmat dan kebahagiaan yang
mengalir memenuhi lembah-lembah cinta dan kasih sayang serta ladang-ladang kedamaian
dan ketenteraman.
Hanya dengan itu jiwa kemanusiaan akan bangkit kembali dari kematiannya, fitrah
keagamaan akan muncul kembali dari persembunyiannya. Keadilan akan memancarkan
cahayanya. Kebijakan dan kearifan mengibarkan panji-panjinya, menaungi pemimpin negeri
yang memperhatikan urusan rakyat bagaikan seorang ayah dengan penuh kasih sayang
memenuhi kebutuhan putranya. Di saat itulah rakyat akan terdorong untuk membantu dan
mendukungnya. Agar ia menyuburkan kembali tanah-tanah yang gersang, memakmurkan
kembali sawah ladang yang ditinggal merana, menghijaukan kembali pohon-pohon yang
menderita kekeringan, memperbaiki prasarana dan sarana yang rusak, merapatkan kembali
yang retak, menunjuki jalan bagi yang tersesat, memerangi yang melanggar batas, menolong
yang lemah dan mengajari yang bodoh.
Adapun jika umat bercerai-berai dalam permusuhan, berpecah-belah dalam berbagai
kelompok dan golongan, saling membenci dan mendengki, memfitnah dan mencaci,
tenggelam dalam keterlenaan dan kesia-siaan, lalai akan tuntutan kemajuan zaman, maka ia
akan menjadi umat yang hina-dina dan terkebelakang, terombang-ambing oleh badai dan
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 5
gelombang kehancuran, mangsa tak berdaya di hadapan penjajah yang kejam, sasaran para
penindas yang tak berperikemanusiaan. Dan jadilah ia umat yang mati, yang tidak lagi
merasakan kehinaan yang menimpanya atau kemalangan yang mengurungnya. Tak ada
suaranya yang didengar atau keluhannya yang diperhatikan.
Keadaan itulah yang mendorong kami mengingatkan dan memperingatkan, agar kita (kaum
Muslim) segera meninggalkan perpecahan dan permusuhan, lalu menyatukan gerak dan
tindak, mendekatkan antara sesama saudara, seraya mendengarkan dengan saksama seruan
Allah Ta'ala:
"... dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan-keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orangorang
yang mendapat siksa yang berat." (Ali 'lmran 105)
"... dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu berceraiberai..."
(Ali 'lmran 103)
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya lalu mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung-jawabmu (wahai Muhammad) terhadap
mereka. Urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah. Kemudian Allah akan
memberitahu mereka akibat dari yang telah mereka perbuat". (Al-An'am 159)
Bukankah kita kini berada di suatu masa yang dikuasai oleh ilmu dan dikendalikan oleh
kecerdasan dan kepandaian? Mata air kearifan memancar dalam diri para pemikir yang
piawai. Matahari kebajikan memantulkan cahayanya di wajah-wajah mereka. Tidakkah
mereka merasa terpanggil untuk menggerakkan pena-pena mereka dan mencurahkan isi hati
dan pikiran mereka, untuk memulai perjuangan melawan kefanatikan golongan, mematahkan
kekuatannya, menghapus bekas-bekasnya? Dan agar menggantikan hal itu dengan
mendesakkan tugas-tugas kemanusiaan serta peningkatan sarana-sarana kemajuan. Juga
agar mereka tak henti-hentinya menyerukan persatuan dan toleransi di antara para penganut
aliran Sunnah dan Syi'ah. Dengan penjelasan-penjelasan yang berkesan sepanjang masa serta
ucapan-ucapan penyesalan yang mampu melumatkan batu cadas yang paling keras sekali
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 6
pun.
Kapankah mereka akan melepaskan kendali-kendali pena mereka, untuk menulis seranganserangan
tak kenal lelah terhadap keberingasan yang ditonjolkan oleh sebagian manusia, lalu
menyerukan kesatuan hati dan persatuan umat, mengajak mereka menggunakan segala
perangkat canggih menuju kebangkitan dan kemajuan, dan mengingatkan mereka akan
bahaya-bahaya yang mengancam apabila mereka membiarkan pelbagai penyebab perpecahan
dan pertengkaran terus merajalela di tengah-tengah mereka. Padahal Allah SWT telah
berfirman:
"Taatlah kamu sekalivm kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan berbantah-bantahan
yang (hanya akan) menyebabkan kamu menderita kekalahan serta hilangnya
kekuatanmu..." (Al-Anfal 46)
Demikianlah, seraya menulis mukadimah ini, aku memohon pertolongan Allah SWT agar
diberi kekuatan untuk dapat menyusun buku ini, yang kuberi judul Al-Fushul Al-Muhimmah
fi Ta'lif Al-Ummah.1 Aku tiada bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan sepanjang aku
masih berkesanggupan. Dan sungguh tiada taufik melainkan dengan pertolongan Allah.
Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (Hud : 88)
1 Arti harfiahnya, Pasal-Pasal yang Muhim dalam Rangka Mendekatkan Hati Umat. Selanjutnya, terjemahan
bahasa Indonesianya kami beri judul Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 7
Persatuan dan Persaudaraan Di Antara Kaum Muslim
Cukup banyak imbauan dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjalin hubungan
persahabatan dan persaudaraan di antara kaum Muslim. Antara lain, firman-firman Allah
SWT dalam kitab suci-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara". (Al-Hujurat: 10)
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah
menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain." (At-Taubah: 71)
"Muhammad Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap tegas
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang di antara sesama mereka." (Al-Fath:.
29)
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang
yang mendapatkan siksa yang berat." (Ali Imran: 105)
"Dan berpegang-teguhlah pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai."
(Ali Imran: 103)
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggungjawabmu (wahai Muhammad) terhadap
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah, kemudian Allah
akan memberitahu mereka apa yang telah mereka perbuat." (Al-An'am: 159)
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal." (Al-Hujurat: 13)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran seperti itu.
Rasulullah SAWW bersabda:
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 8
"Kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu benar-benar beriman. Dan kamu tidak
benar-benar beriman, sebelum kamu saling berkasih-sayang. Sukakah kamu saya tunjuki
sesuatu jika kamu mengamalkannya, niscaya akan timbul kasih-sayang di antara
sesamamu? Sebarkanlah salam di antara kamu!"
Agama itu adalah ketulusan. Kami bertanya: "Terhadap siapa?" Jawab Nabi SAWW,
"Terhadap Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin kaum Muslim serta
rakyat Muslim pada umumnya. Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya; tidaklah
seorang benar-benar beriman, sampai ia menyukai bagi saudaranya yang Muslim, segala
yang ia sukai bagi dirinya sendiri."
"Janji keselamatan bagi kaum Muslim berlaku atas mereka semua, Dan mereka semua
seia-sekata dalam menghadapi orang-orang selain mereka. Barang siapa melanggar janji
keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju
kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apa pun, pada Hari Kiamat
kelak."
"Hindarkan dirimu dari prasangka buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah
sebohong-bohong omongan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai,
jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling
menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiami
(menolak menyapa) saudaranya, sesama Muslim, lebih dari tiga hari."
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya,
dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi hajat saudaranya,
sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi hajatnya sendiri. Dan barangsiapa
membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan
penderitaannya di Hari Kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin,
maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat."
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 9
Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq berkata: "Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim.
Dia adalah matanya, cerminnya dan penunjuk jalannya. Dia tidak akan mengkhianati,
memperdayakan, menganiaya, membohongi, dan mengumpatnya." Beliau (a.s.) berkata
pula kepada sekelompok orang dari para pengikut dan pecintanya: "Bertakwalah kalian
kepada Allah. Dan jadilah kamu sekalian saudara-saudara yang senantiasa berbuat baik
kepada sesamanya, saling mencintai karena Allah, saling menghubungi, saling
merendahkan diri, saling mengasihani, saling mengunjungi dan saling bertemu, serta
hidupkan (siarkan) ajaran kami (Ahlul-Bayt)."
Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAWW: "Sesungguhnya yang terdekat --di antara
kamu-- tempat duduknya dari sisiku ialah orang-orang yang terbaik budi pekertinya, yang
senantiasa merendah, saling menyayangi dan disayangi."
Sabda beliau pula: "Seorang Mukmin itu senantiasa menyayang dan disayang. Maka tidak
ada kebaikan dalam diri siapa saja yang tidak menyayang dan disayang."
Dalam hadis lain, beliau bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang paling dicintai oleh
Allah --di antara kamu-- ialah mereka yang saling sayang-menyayangi. Dan yang paling
dibenci oleh Allah adalah mereka yang gemar menyebarkan fitnah dan memecah-belah di
antara sesama saudara."
Sabdanya lagi: "Orang-orang yang saling mencintai karena Allah, akan berkedudukan di
bagian teratas bangunan yang terbuat dari batu permata merah delima. Di puncak
bangunan itu terdapat tujuh puluh ribu kamar; dari sana mereka memandang ke arah
surga di bawah. Wajah-wajah mereka bersinar-sinar bagaikan cahaya mentari. Mereka
mengenakan pakaian yang terbuat dari kain sutera berwarna hijau, di atas dahi-dahi
mereka tertulis: 'Inilah orang-orang yang saling mencintai karena Allah.'"
Sabda beliau pula: "Di Hari Kiamat kelak, akan disediakan kursi-kursi di sekitar 'Arsy
untuk sekelompok manusia. Wajah-wajah mereka laksana sinar bulan purnama di malam
hari. Manusia dalam suasana ketakutan, namun mereka tenang-tenang saja. Mereka itu
adalah wali-wali Allah yang tiada ketakutan atas diri mereka dan tidak pula mereka
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 10
bersedih hati. Para sahabat bertanya: 'Siapakah gerangan mereka itu, ya Rasulullah?'
Jawab Nabi SAWW: 'Mereka itu adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah.'"
Sabda beliau pula: "Sungguh telah berfirman Allah SWT: 'Pastilah kasih-sayang-Ku
tercurah atas diri mereka yang saling mengunjungi karena Aku. Pastilah kasih-sayang-Ku
tercurah atas diri mereka yang saling memberi karena Aku. Dan pastilah kasih-sayang-Ku
tercurah atas diri mereka yang saling menolong karena Aku.'"
Dan telah bersabda Rasulullah SAWW: "Pada Hari Kiamat kelak, Allah SWT akan
berfirman: 'Di manakah orang-orang yang saling mengasihi demi keagungan-Ku? Kini
akan Kunaungi mereka di bawah naungan-Ku!'"
Dari sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Al-lmam Muhammad Al-Baqir, dari para
leluhurnya, para khalifah yang bijak; dari Nabi SAWW, datuk mereka; penghulu para utusan
Allah (salam sejahtera atas mereka semuanya), katanya: Apabila datang Hari Kiamat, ada
suara memanggil: "Di manakah tetangga-tetangga Allah?" Maka berdirilah sekelompok
manusia yang segera disambut oleh para Malaikat seraya bertanya kepada mereka:
"Amalan-amalan apakah yang telah kalian kerjakan sehingga kalian bisa memperoleh
kedudukan sebagai tetangga-tetangga Allah di tempat kediaman-Nya?" Jawab mereka:
"Kami dahulu di dunia, saling mencintai karena Allah, saling memberi karena Allah dan
saling mengunjungi karena Allah SWT." Lalu berkata Rasulullah SAWW: Maka
terdengarlah suara menyeru: "Hamba-hamba-Ku itu telah berkata sebenarnya. Biarkanlah
mereka langsung pergi menuju tempat di sisi Allah, tanpa melalui hisab."
Berkata 'Abdul-Mukmin Al-Anshary: Aku pernah mengunjungi Al-Imam Musa Al-Kazhim
yang pada saat itu sedang duduk bersama Muhammad bin 'Abdillah Al-Ja'fari. Ketika melihat
aku tersenyum kepada Al-Ja'fari, beliau (Musa Al-Kazhim) bertanya kepadaku: "Kau
mencintainya?" Aku menjawab: "Ya, sungguh aku mencintainya semata-mata karena
kalian (Ahlul-Bayt)" Kata beliau selanjutnya: "Memang benar. Ia adalah saudaramu.
Seorang Mukmin adalah bagaikan saudara kandung bagi Mukmin lainnya. Terkutuklah
orang yang melontarkan tuduhan kepada saudaranya. Terkutuklah orang yang menipu
saudaranya. Terkutuklah orang yang tidak bertindak jujur terhadap saudaranya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 11
Terkutuklah orang yang tidak mementingkan saudaranya. Dan terkutuklah orang yang
mengumpat saudaranya."
Dalam memuji jalinan persaudaraan antara sesama Muslim, Rasulullah pernah bersabda:
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka akan dikaruniai-Nya
seorang sahabat karib yang saleh; jika ia terlupa niscaya akan diingatkan olehnya dan jika
ia teringat kepadanya niscaya ia membantunya. Dan perumpamaan dua saudara yang
sedang bertemu adalah bagaikan dua belah tangan yang satu sama lain saling mencuci.
Dan tidaklah berjumpa dua orang Mukmin kecuali Allah SWT memberikan salah seorang
dari mereka kebaikan dari temannya."
Berkata Amirul-Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib a.s.: "Jagalah hubungan baik dengan
saudara-saudaramu. Sungguh mereka itu sangat diperlukan, di dunia dan akhirat.
Tidakkah kamu dengar ucapan penghuni neraka (seperti tersebut dalam firman Allah):
'Maka kami tidak mempunyai penolong, dan tidak pula, mempunyai teman sejati.'"
Berkata Jarir bin Abdillah r.a.: "Aku berbai'at kepada Rasulullah SAWW untuk tetap
menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, dan berlaku jujur terhadap semua Muslim."
Demikianlah, sungguh amat banyak hadis sahih tentang hal persatuan dan persaudaraan
antara sesama Muslim. Jika saja Anda mau menelaah hadis-hadis ini yang dirawikan melalui
kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah), niscaya terbitlah kebenaran bagaikan fajar
menyingsing di hadapan Anda. Dan kiranya hal ini cukup bagi siapa saja yang beroleh
hidayah Allah SWT.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 12
Penjelasan Tentang Makna Islam dan Iman
Telah diketahui dengan pasti bahwa hanya dengan Islam dan Iman, seorang hamba dapat
meraih puncak keridhaan Allah SWT. Semua perbuatannya bergantung pada nilai-nilai
keduanya. Betapa pun jelasnya hal ini, namun saya tetap merasa perlu menekankan hal
tersebut dalam buku saya ini, semata-mata demi menyadarkan sebagian orang yang fanatik,
yang senantiasa ingin membangkitkan kembali semangat kesukuan dan kepartaian jahiliah.
Padahal, saudara-saudara kita --Ahlus-Sunnah-- telah sepakat bahwa hakikat Islam dan Iman
ialah pengucapan dua kalimat syahadat, pembenaran adanya Hari Kebangkitan, lima shalat
sehari semalam menghadap kiblat, pelaksanaan ibadah haji, puasa di bulan Ramadhan, serta
pengeluaran zakat serta seperlima (khumus) dari harta perolehan (ghanimah) yang
diwajibkan.2 Hal ini tercantum dengan jelas sekali dalam keenam kitab kumpulan hadits
(ash-shihah as-sittah) maupun kitab-kitab hadits lainnya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya, dicantumkan sabda Ratulullah SAWW:
"Barangsiapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita,
mengerjakan shalat kita, dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang
Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya."
Al-Bukhari juga merawikan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:
"Barangsiapa menunaikan shalat kita, menghadap kiblat kita, serta makan hewan
2 Mungkin sebagian kaum Muslim ada yang membedakan antara "Islam" dan "Iman", berdasarkan apa yang
dapat dipahami dari ayat 14 Surah Al-Hujurat di bawah ini:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum
beriman, namun katakanlah 'kami telah Islam'."
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan "Islam" itu hanya merupakan
pernyataan masuk agama (Islam) dan berserah diri kepada Nabi Muhammad SAWW. Adapun "Iman" adalah
keyakinan yang teguh di dalam hati sanubari kaum beriman seraya mengikrarkannya dengan lisan. Dengan
demikian, "Iman" lebih khusus daripada "Islam". Adapun kami (kaum Syi'ah) menambah satu hal lagi, yakni
wilayah (pengakuan kedua belas Imam sebagai perimpin-pemimpin umat).
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 13
sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya dzimmah (jaminan keamanan)
Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mengkhianati janji Allah dalam dzimmah-
Nya."3
Masih dalam Shahih Bukhari, dengan sanad dari Thalhah bin Ubaidillah4: “Pernah datang
seorang laki-laki dari Nejed kepada Rasulullah SAWW. Orang itu kepalanya penuh debu.
Kami mendengar suaranya yang keras namun tak mengerti apa yang ia bicarakan, sampai
ia mendekat kepada Rasulullah SAWW. Maka terdengarlah ia bertanya tentang beberapa
kewajiban dalam Islam.
Jawab Rasulullah SAWW: "Shalat lima kali dalam sehari semalam!"
Orang itu bertanya lagi: "Adakah shalat yang wajib atas diriku selain yang lima itu?"
Jawab Rasulullah SAWW: "Tidak, kecuali jika kamu mau berbuat yang sunnah."
Dan Rasulullah SAWW melanjutkan: "Juga wajib puasa di bulan Ramadhan."
Orang itu bertanya lagi: "Ada jugakah puasa yang wajib bagiku selain dari itu."
Jawab Rasulullah SAWW: "Tidak, kecuali kalau engkau mau berbuat yang sunnah."
Rasulullah SAWW lalu menyebutkan tentang kewajiban zakat, dan laki-laki itu bertanya
lagi: "Adakah pengeluaran harta yang wajib bagiku selain dari zakat itu."
Jawab Rasulullah SAWW: "Tidak, kecuali kalau engkau suka berbuat yang sunnah."
Kemudian laki-laki itu pergi seraya berkata: "Demi Allah, tidak akan kutambah dari semua
ini dan tidak pula akan kukurangi."
Mendengar itu, Rasulullah SAWW bersabda: "Beruntunglah ia jika ia jujur dalam
ucapannya itu."
3 Sudah tentu hadits ini dan sebelumnya terikat dengan penyaratan puasa, zakat dan haji.
4 hadits ini juga terdapat dalam Shahih Muslim dengan sanad yang sama.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 14
Juga dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits dengan sanad sampai kepada Nafi'
bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar seraya bertanya: "Hai Abu Abdur-
Rahman, gerangan apakah yang mendorongmu untuk “setiap tahunnya” menunaikan
ibadah haji atau umrah, sedangkan Anda meninggalkan jihad fi sabilillah? Padahal Anda
tahu betapa kuatnya Allah menekankan tentang keutamaannya!" Jawab Ibnu Umar: "Hai
anak saudaraku, agama Islam itu ditegakkan atas lima perkara: Beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, shalat lima kali sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji."
Dalam Shahih Bukhari pula diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Pada suatu hari Rasulullah
SAWW sedang duduk bersama-sama dengan orang banyak, ketika datang kepadanya
seorang laki-laki, lalu bertanya: "Apakah Iman itu?"
Jawab beliau SAWW: "Iman ialah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari
Kebangkitan."
Tanya laki-Iaki itu selanjutnya: "Apakah Islam itu?"
Jawab Nabi SAWW: "Islam adalah menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya,
mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan."
Sesudah itu laki-laki (si penanya) tersebut pergi. Namun, Rasulullah segera berkata:
"Panggil laki-laki itu kembali!" Tetapi mereka tak melihat seorang pun. Lalu Nabi SAWW
bersabda: "Itulah malaikat Jibril, datang untuk mengajari manusia tentang agama
mereka."
hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dengan sanad yang
berbeda, sebagian dari Umar bin Khaththab, sebagian dari putranya (Abdullah bin Umar),
dan sebagian lagi dari Abu Hurairah, dengan sedikit tambahan dan kekurangan.
Al-Bukhari juga telah meriwayatkan di beberapa tempat dalam kitab Shahih-nya dengan
sanad sampai kepada Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAWW pernah berkata kepada delegasi
Abdul Qais (yakni tatkala beliau SAWW menyuruh mereka agar beriman kepada Allah yang
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 15
Mahaesa saja): "Tahukah kamu apa arti Iman kepada Allah yang Mahaesa?" Mereka
menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Itulah kesaksian
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan memberikan
seperlima (khumus) dari harta perolehan (maghnam)."5
hadits-hadits yang mengandung makna seperti ini tak dapat dihitung karena banyaknya.
Siapa saja yang ingin mengetahuinya, silakan mengkaji dan mendalaminya dalam kitab-kitab
shahih yang enam dan kitab-kitab lainnya, terutama sekali dalam pasal keimanan dalam
Shahih Muslim. Di dalam kitab tersebut, terdapat banyak bab yang memberikan kepastian
bahwa definisi "Islam" dan "Iman" seperti yang dipahami oleh Ahlus-Sunnah tidak lain
adalah seperti yang telah diutarakan di atas; sedangkan yang akan diuralkan dalam dua pasal
mendatang akan lebih memperjelas lagi. Oleh karena itu, renungkanlah baik-baik.
5 Muslim juga telah meriwayatkan hadits ini dalam beberapa tempat dari kitab Shahih-nya. Jelaslah, hal ini
merupakan dalil bahwa kewajiban mengeluarkan seperlima (khumus) dari hasil perolehan merupakan salah
satu rukun Islam seperti halnya shalat dan zakat. Dengan demikian, hadits tersebut merupakan pengikat atau
penjelas bagi hadits-hadits seperti ini yang tidak mencantumkan perihal kewajiban mengeluarkan khumus.
Memang hal ini tidak mengherankan, karena Al-Quran dan As-Sunnah berkaitan satu sama lain.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 16
Jaminan Keselamatan Bagi Pengucap La Ilaha Illallah
Di bawah ini kami akan menukilkan beberapa hadits yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-
Sunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa barangsiapa mengucapkan Lailaha illa Allah,
Muhammad Rasul Allah, maka terjaminlah keselamatan jiwa, harta, serta kehormatan dirinya
(di antara masyarakat Muslim).
Kami hendak menukilkan di sini demi menyadarkan sebagian orang yang lalai dan
memberikan pengertian kepada mereka yang tidak mengerti. Juga agar diketahui bahwa
keadaan kaum Muslim tidaklah seperti yang diwakili dan digambarkan oleh kaum pendengki
dan pendendam yang hendak membangkitkan kembali 'ashabiyah jahiliyah. Mereka itulah
yang telah mencerai-beraikan persatuan, dan kesatuan umat dan menyalakan api pertikaian
dan fitnah di antara sesama mereka, sehingga mereka terpecah-belah dan bergolonggolongan,
saling mengkafirkan dan saling berlepas tangan, tanpa sebab yang masuk akal.
Semua itu semata-mata karena bujuk rayu setan, atau hembusan tipu daya manusia-manusia
iblis yang ternyata lebih jahat dan lebih keji terhadap Islam daripada keturunan si wanita
pemakan hati.6 Padahal masa sekarang adalah era ilmu, era keadilan dan kebenaran, era
pencerahan yang seharusnya membuat orang meneliti hakikat segala sesuatu dengan pikiran
kritis dan terbuka, meninggalkan kepicikan dan kefanatikan buta, lalu kembali berpegang
teguh kepada Kitab Allah yang suci serta Sunnah Nabi-Nya yang mulia.
Nah, di bawah ini, beberapa hadits Nabi SAWW yang kami maksud:
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Ibn Abbas r.a., bahwa
Rasulullah SAWW pernah berpesan kepada Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya sebagai
gubernur ke negeri Yaman:
“Engkau akan mendatangi suatu kelompok dari Ahlul-Kitab, maka ajaklah mereka
bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.
6 Wanita yang dimaksud ialah Hindun istri Abu Sufyan, dan ibu Muawiyah yang karena kedengkian dan
permusuhannya yang sangat terhadap kaum Muslim, telah berusaha makan hati Hamzah, paman Nabi
SAWW., seusai perang Uhud -- penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 17
Jika mereka bersedia mengikutimu dalam hal itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah
telah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari semalam. Apabila mereka
menerimanya, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka
mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, untuk diberikan kepada
kaum fakir-miskin di kalangan mereka. Jika mereka bersedia mematuhimu, berhatihatilah,
janganlah engkau menyengaja mengambil dari milik mereka yang paling
berharga.”7
Perhatikanlah, betapa Nabi SAWW menetapkan keislaman mereka semata-mata dengan
kepatuhan mereka kepada Mu'adz (utusan beliau) dalam hal-hal tersebut. Sedemikian
sehingga dengan itu terjaminlah keselamatah harta-harta mereka, dan lebih-lebih lagi
kehormatan diri serta nyawa mereka, seperti halnya anggota-anggota masyarakat Muslim
lainnya.
Dalam Shahih Muslim, juz II, bab "Fadha'il (Keutamaan-keutamaan) Ali a.s.", juga
disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:8
“Sungguh akan kuberikan panji ini kepada seorang lelaki yang benar-benar mencintai
Allah dan Rasul-Nya (dalam riwayat lain, yang juga tercantum dalam kitab-kitab Shahih,
beliau menambahkan: ... dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya), yang ditangannya Allah
akan menurunkan kemenangan bagi kaum Muslim.”
Berkata Umar bin Khaththab r.a.: "Aku tidak pernah berambisi untuk memperoleh
kepemimpinan kecuali hari itu. Aku pun sungguh-sungguh berupaya agar dipanggil untuk
tugas itu!" Kemudian ia berkata: "Lalu Rasulullah SAWW memanggil Ali bin Abi Thalib dan
menyerahkan panji itu kepadanya seraya berpesan: 'Berangkatlah, dan jangan menoleh ke
belakang!'" Kata perawi hadits itu: Maka Ali segera berangkat, tetapi beberapa langkah
kemudian, ia berhenti dan --tanpa menoleh ke belakang-- ia berteriak: "Ya Rasulullah, atas
7 Muslim dalam kitab Shahih-nya telah mencantumkan hadits ini juga dengan sanad yang sama pula.
8 Juga hadits seperti itu terdapat dalam bab "Ghazwah Khaibar" (Perang Khaibar), dalam kitab Shahih
Bukhari, juz III. Juga disebutkan dalam bab "Manaqib (Keutamaan- keutamaan) Ali a.s." dari kitab yang
sama, juz II, dengan sedikit perubahan kata-kata.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 18
dasar apa aku harus memerangi mereka?" Jawab Nabi SAWW: "Perangilah mereka
sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Jika mereka telah melakukannya, haramlah bagimu darah mereka."
Bukhari dan Muslim, dalam kitab Shahih-nya. meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang
berkata: “Kami diutus Rasulullah SAWW ke suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung
menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang
dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya,
ia berucap: La ilaha illa Allah!. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti
dan membiarkannya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia
mati. Ketika hal ini kemudian diketahui Nabi SAWW, beliau berkata kepadaku: Hai
Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illa Allah?
Jawabku: Ya, karena ia sekadar berlindung saja. (Kata Usamah selanjutnya: Rasulullah
SAWW tak henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap alangkah
baiknya seandainya aku belum menjadi Muslim sebelum peristiwa hari itu).”
Tentunya Usamah tidak akan berangan-angan seperti itu, seandainya ia tidak merasa sangat
khawatir bahwa semua amalan yang telah dikerjakan sebelum peristiwa ini (baik yang berupa
keimanannya, persahabatannya dengan Rasulullah SAWW, shalatnya, puasanya, zakatnya,
hajinya, dan lain-lain) semua itu tidak akan mampu menghapus dosa tindakan kecerobohan
ini. Bahkan mungkin saja semua amal salehnya --yang bagaimanapun juga-- telah terhapus
dan menjadi sia-sia. Jelas bahwa ucapannya itu menunjukkan bahwa ia takut dosanya itu tak
terampuni. Karenanya ia berangan-angan seandainya ia baru masuk Islam setelah peristiwa
tersebut sehingga dapat tergolong dalam sabda Nabi SAWW: “Agama Islam itu menghapus
semua dosa yang diperbuat sebelumnya (yakni sebelum memeluk Islam).”
Cukuplah bagi Anda hal ini sebagai dalil kuat akan kehormatan kalimat La ilaha illa Allah
dan para pengikutnya. Jika sedemikian itu keadaan orang yang mengikrarkan syahadat hanya
sekadar menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah pendapat Anda mengenai orang
yang bahkan sejak berupa nuthfah telah terikat dengan kalimat itu; kemudian menyusunya
bersama air susu ibunya, sehingga tulang-belulang dan dagingnya tumbuh menguat dan
terbentuk bersama kalimat itu?! Kalbunya penuh dengan cahayanya. Seluruh anggota
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 19
tubuhnya dipengaruhi oleh kekuatannya.
Karena itu, hendaklah kaum keras kepala berhenti dari perbuatan mengkafirkan sesama
Muslim. Hendaknya mereka takut akan kemurkaaan Allah serta kemarahan Nabi mereka
(SAWW).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai kepada Miqdad bin 'Amr,
bahwasanya ia pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda
seandainya aku berperang dengan orang-orang kafir? Lalu aku berkelahi dengan seorang
dari mereka dan ia memukul salah satu tanganku dengan pedang sehingga terputus,
kemudian ia menghindar dariku dan berlindung di balik pohon seraya berucap: Aslamtu
lillah. (Aku Islam kepada Allah). Bolehkah aku membunuhnya setelah ia mengucapkan
kalimat itu, ya Rasulullah? Sabda Rasul SAWW: "Jangan kau bunuh ia. Apabila engkau
membunuhnya juga, maka ia berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya
(yakni sebagai Muslim) sedangkan engkau berada dalam kedudukannya sebelum ia
mengucapkan kalimat itu (yakni sebagai kafir)."
Tidak ada susunan perkataan, dalam bahasa Arab atau lainnya, yang lebih jelas dalam
menunjukkan penghargaan dan penghormatan Islam terhadap penganut-penganutnya,
daripada hadits yang mulia ini. Ucapan yang bagaimanakah yang dapat menandinginya?
Ditandaskan di dalamnya bahwa Miqdad, kendati tergolong dalam kelompok orang yang
terdahulu memeluk Islam dan amat besar jasa-jasanya, tetapi sekiranya ia membunuh orang
tadi, maka kedudukannya akan setara dengan kedudukan orang-orang kafir yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang yang terbunuh tersebut, akan memperoleh kedudukan
yang sama dengan tokoh-tokoh besar kaum Muslim terdahulu, pahlawan-pahlawan perang
Badr dan Uhud. Sungguh inilah puncak penghormatan bagi Ahlut-Tauhid sejauh yang dapat
mereka bayangkan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang-orang yang keterlaluan dalam
ketegaran sikapnya!
Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab "Pengutusan Ali dan Khalid bin Walid ke Negeri
Yaman": Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah!
(Bertindaklah secara adil!)." Jawab Nabi SAWW: "Celakalah engkau, bukankah aku orang
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 20
yang paling berhak dari penduduk bumi ini untuk takut kepada Allah?!" Mendengar itu
Khalid berkata: "Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!" Jawab Nabi
Muhammad SAWW: "Tidak, barangkali ia mengerjakan shalat."9
Alangkah kuatnya hadits ini sebagai dalil untuk menghormati ibadah shalat dan orang-orang
yang menunaikannya. Apabila adanya persangkaan bahwa seseorang mengerjakan shalat
sudah cukup untuk melindunginya dari hukuman mati, padahal orang tersebut telah
menyanggah dan menuduh Nabi SAWW secara terang-terangan, maka bagaimanakah kiranya
kedudukan (seorang Muslim) yang senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
di bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram, mengikuti sepenuhnya sabda Rasulullah SAWW serta perilaku dan
persetujuannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mencintai Rasulullah SAWW
dan keluarganya secara tulus, mengharapkan rahmat Allah melalui syafaatnya, berpedoman
pada Kitab Allah dan 'itrah Rasul-Nya, dan berpegang teguh pada kedua tali itu serta
mendukung wali-Nya walaupun seandainya (wali Allah itu) adalah pembunuh ayahnya seraya
memusuhi musuh-Nya walaupun seandainya musuh Allah itu termasuk kerabatnya sendiri.10
9 Ahmad bin Hambal meriwayatkannya juga dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri dalam Musnad-nya, jilid III, hal.
4. Seperti yang dinukilkan pula oleh Al-'Asqallani dalam kitab Al-Ishabah di bagian biografi Sarhuq si
Munafik, yaitu ketika ia dihadapkan untuk dibunuh, Rasulullah SAWW bertanya: "Apakah ia mengerjakah
shalat?" Jawab mereka: "Hanya bila dilihat orang." Sabda Rasulullah SAWW: "Sungguh aku dilarang
membunuh orang yang menegakkan shalat!" Demikian pula yang diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam
biografi 'Amir bin Abdullah bin Yasaf dalam kitab Mizan-nya dengan sanad yang dha'if, dari Anas, yang
berkata: "Pernah diceritakan kepada Nabi SAWW tentang seorang laki-laki yang disebut sebagai 'Pelindung
kaum Munafik'. Ketika laporan-laporan makin banyak tentang orang tersebut, akhirnya Rasulullah SAWW
mengizinkan mereka untuk membunuhnya. Namun segera Rasulullah SAWW bertanya lagi: 'Apakah ia
shalat?' Mereka menjawab: 'Ya, tapi shalatnya itu hanya pura-pura saja.' Tetapi Rasulullah SAWW berkata:
'Sungguh aku telah dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat'."
Nah, jika demikian itu berkenaan dengan orang-orang munafik, yang hanya mengharapkan pujian-pujian
(riya') dari shalatnya, maka bagaimanakah kiranya pendapat Anda tentang orang-orang yang senantiasa
menunaikan salat dengan khusyuk serta ikhlas semata-mata karena Allah SWT?
10 Yang dimaksud dengan pembunuh ayahnya ialah ayah si Muslim tersebut di atas yang senantiasa shalat,
puasa, dan seterusnya. Penulis buku ini merujuk kepada sabda Nabi SAWW berkenaan dengan Ali bin Abi
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 21
Dalam bab Al-Bai'ah wal-Ittifaq 'ala Utsman, Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang
panjang. Disebutkan di dalamnya tentang peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab r.a. Di
antaranya, ketika Umar terluka, ia berkata kepada Ibn Abbas: "Selidikilah, siapa orang yang
ingin membunuhku!" Setelah pergi sebentar, Ibn Abbas datang kembali dari langsung
berkata kepadanya: "Pembunuhmu adalah budak Mughirah." Umar bertanya: "Apakah dia
si tukang pengrajin tangan?" "Ya," jawabnya. Kemudian Umar r.a. berkata: "Semoga Allah
membunuhnya! Sebelum ini aku telah memperlakukannya dengan baik. Puji syukur bagi
Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama
Islam. Memang, di masa lalu, engkau dan ayahmu pernah menginginkan bertambah
banyaknya orang-orang 'ajam yang kafir itu di kota Madinah." Kata Ibn Abbas: "Jika
Anda ingin, kami akan membunuh mereka semua." Jawab Umar: "Anda telah berkata
bohong! Tak mungkin membunuh mereka setelah banyak dari mereka berbicara dengan
bahasamu (yakni mengucapkan kalimat syahadat), shalat menghadap kiblatmu, dan
menunaikan ibadah haji ..."
Yang mungkin dapat dipahami dari ucapannya "puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan
kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam" --sesuai dengan riwayat
yang akan Anda simak dari Ibn Qutaibah dan Ibn 'Abdil Bar-- ialah bahwa Umar khawatir
bahwa pembunuhnya itu seorang Muslim sehingga mungkin memperoleh ampunan dari
Allah disebabkan keislamannya. Tetapi, setelah mengetahui bahwa pembunuhnya itu bukan
seorang pemeluk Islam, maka kini ia yakin bahwa Allah SWT pasti akan mengambil haknya
dari si pembunuh itu (yakni menghukumnya).
Sungguh amat cukup keterangan ini sebagai petunjuk yang pasti tentang baiknya akhir
kehidupan kaum Muslim secara keseluruhan.
Kemudian, bila Anda perhatikan bagaimana Umar menyanggah ucapan Ibn Abbas dengan
menyebutnya "telah berkata bohong", padahal semua orang tahu betapa tingginya kedudukan
Ibn Abbas, dapatlah Anda menyadari betapa terhormatnya para pengikrar kalimat
Thalib r.a.: "Ya Allah, perwalikanlah siapa yang memperwalikannya (yakni Ali) dan musuhilah siapa yang
memusuhinya" --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 22
syahadatain yang mengerjakan shalat dan menunaikan haji, dari mana pun mereka berasal.
Dalam kitab Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Qutaibah11 (wafat tahun 370 H) menyebutkan
bahwa ketika Umar r.a. diberitahu bahwa pembunuhnya adalah sahaya Mughirah bin
Syu'bah, secara spontan ia berkata: "Alhamdulillah, yang membunuhku bukanlah seorang
yang akan berhujah melawan aku dengan La ilaha illa Allah pada Hari Kiamat kelak."
Dalam bukunya Al-Isti'ab, Al-Hafizh Abu 'Amr Yusuf bin Abdil-Bar Al-Qurthubi, di bagian
"Riwayat Hidup Umar", meriwayatkan bahwa Umar berkata kepada putranya, Abdullah:
"Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan pembunuhan atas diriku melalui tangan
seorang yang akan berhujah melawan aku dengan La ilaha'illa Allah."
Coba Anda perhatikan, jika seorang yang mengucapkan La ilaha illa Allah membunuh Umar
bin Khaththab, Khalifah kedua, dapat berhujah melawannya dengan kalimat tersebut, maka
jelaslah bahwa perkara orang-orang yang tergolong Ahlut-Tauhid amatlah mudah.
Demikianlah, semoga orang-orang tertentu yang kegemarannya menimbulkan perpecahan
dan permusuhan di kalangan sesama Muslim, kini bersedia menghentikan kebiasaan jelek itu,
Dan semoga tokoh-tokoh yang gandrung kepada persatuan dan perdamaian umat segera
meningkatkan upaya-upaya mereka. Tidakkah kita menyadari betapa bangsa-bangsa Barat
sedang giat-giatnya memasang perangkap-perangkapnya untuk kita, melemparkan bom-bom
mereka ke arah kita, menaungi angkasa kita dengan pesawat-pesawat terbangnya serta
memenuhi lautan sekitar kita dengan armada kapal mereka untuk mengepung kita dari segala
penjuru?
Maka apabila umat Islam tidak berpegang teguh pada tali persatuan dan kesatuan dan tidak
berlindung diri kepada Allah dari akibat pertikaian ini, pastilah mereka akan menjadi orangorang
hina-dina bagaikan budak-budak yang tak berdaya. Di mana saja dijumpai, mereka
akan ditangkap dan dibunuh dengan sekeji-kejinya.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Aku
diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan La ilaha illa Allah.
11 Al-Imamah wa As-Siyasah, hal. 26.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 23
Apabila mereka telah mengucapkannya, menunaikan shalat seperti kita, menghadap arah
kiblat kita, menyembelih dengan cara penyembelihan kita, maka haram bagi kita
melanggar darah dan harta mereka."
Sesudah hadits-hadits sahih ini serta nash-nash yang gamblang ini, masih adakah peluang
untuk suatu keributan yang dikobarkan oleh para pengacau, atau adakah tempat bergabung
bagi para pembenci keluarga Nabi SAWW? Tentu tidak, demi Tuhannya Muhammad! Agama
Islam tidak bertanggung jawab sedikit pun atas provokasi-provokasi yang disebarluaskan oleh
para pembuat fitnah. Perbuatan mereka itu sungguh sangat bertentangan dengan semangat
serta ajaran Agama. Padahal Al-Quran menyatakan: Barangsiapa tidak berhukum dengan
hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai Ibn Umar r.a.,
diriwayatkan: Ketika berada di Mina, Rasulullah SAWW bersabda, seraya menunjuk ke
arah kota Makkah: "Tahukah kalian, negeri apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-
Nya lebih tahu." Maka beliau SAWW bersabda: "Sesungguhnya ini adalah negeri yang
disucikan. Tahukah kalian hari apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Sesungguhnya ini adalah hari yang disucikan. Dan
tahukah kalian, bulan apakah ini?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui." Sabda Nabi SAWW lagi: "Bulan yang disucikan." Dan beliau melanjutkan
lagi: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu darahmu, harta kekayaanmu dan
kehormatanmu, sebagaimana kesucian hari ini, pada bulan ini, di negeri ini."
Keenam kitab Shahih dan lainnya, penuh dengan hadits-hadits seperti ini yang telah dikenal
lebih terang daripada matahari di siang hari.
Sungguh aku tidak tahu, alasan apakah yang masih dipegangi oleh mereka yang
mengandalkan kitab-kitab Shahih tersebut seraya mencukupkan diri dengan menyimpulkan
hukum-hukum agama berdasarkan yang tercantum di dalamnya saja, namun kemudian
mereka justru mengingkari hukum-hukumnya dan mencampakkan ajaran-ajarannya.12
12 Salah seorang dari mereka ialah Syaikh Nuh Al-Hanafi yang kendati adanya hadits-hadits di atas dan yang
serupa dengannya namun ia tetap memfatwakan tentang kafirnya kaum Syi'ah, lalu mewajibkan memerangi
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 24
Keterangan Para Imam Ahlul-Bayt tentang Sahnya
Keislaman Ahlussunnah
Dalam bab ini, akan dinukilkan sekelumit nash-nash Imam kami (kaum Syi'ah) tentang
sahnya keislaman Ahlus-Sunnah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syi'ah,
dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab kami mengenai hal ini sungguh amat jelas. Tak seorang pun
dari kami --yang berpandangan adil dan moderat-- meragukannya. Karena itu, kami tak
merasa perlu menukilkan nash-nash itu semuanya dalam bab ini. Menurut hemat kami,
tidaklah bijaksana menjelaskan sesuatu yang sudah amat jelas. Kami cukupkan sekadarnya
saja, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh judul di atas.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja'far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan
bin As-Samath: "Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni
kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat,
melaksanakan ibadah haji dan berpuasa di bulan Ramadhan."
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama'ah: "Agama Islam itu adalah
kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah SAWW.
Atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah
berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah
(kaum Muslim)."
mereka, menghalalkan pembunuhan terhadap mereka serta menawan anak-anak dan wanita-wanita mereka
untuk dijadikan budak! Fatwanya berlaku baik mereka (kaum Syi'ah) telah bertobat atau belum!
Silakan Anda membaca fatwanya itu dalam buku yang terkenal, berjudul Al-Fatawa Al-Hamidiyah, bab
"Hukuman atas Orang Murtad." Kami akan menukilkan secara lengkap sesuai dengan susunan kalimatnya, di
Bab XI dari buku ini. Di sana kami akan menyanggahnya dengan dalil-dalil yang pasti serta bukti-bukti yang
terang benderang. Memang, kesepuluh Bab yang sebelumnya, pada hakikatnya merupakan pendahuhian bagi
penyanggahan terhadap fatwa yang amat keji itu. Kami justru menyusun buku ini demi tujuan tersebut. Hal
ini mengingat bahwa sampai hari ini belum juga ada orang yang telah menunaikan kewajiban tersebut. Segala
puji bagi Allah atas taufik dan hidayah-Nya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 25
Al-Imam Abu Ja'far, Muhammad Al-Baqir a.s., berkata, seperti tercantum dalam Shahih
Hamran bin A'yan: "Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan
ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah
(aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung
pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan.
Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka
keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan."
Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti
tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya. Namun kiranya cukup sekian untuk
memenuhi tujuan kami dalam bab ini.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 26
Jaminan Masuk Surga bagi Setiap Muslim
Di bawah ini kami sebutkan beberapa hadits yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah
dan yang menegaskan keselamatan bagi kaum Muslim, secara umum. hadits-hadits ini
memberi jaminan surga bagi mereka semua, baik yang berasal dari kalangan Syi'ah maupun
Sunnah.
Adapun tujuannya ialah mengimbau kaum Muslim agar mau bersatu serta mengingatkan
mereka tentang akibat buruk pertengkaran di antara mereka. Dan bahwa permusuhan antara
mereka benar-benar merupakan tindakan kejahilan dan perbuatan sia-sia, bahkan
menimbulkan kerusakan di bumi serta penghancuran sawah ladang dan keturunan.
Tidak syak lagi, selama Agama Islam telah menandaskan bahwa kedua kelompok itu telah
memenuhi persyaratan keimanan dan bahwa kedua-duanya akan memperoleh tempat
tertinggi di surga-surga, maka tidak ada lagi alasan pertengkaran di antara mereka yang dapat
diterima oleh orang-orang yang bijak dan berakal sehat.
Namun sungguh menyedihkan, kemalangan telah menimpa kaum Muslim dengan adanya
sekelompok dari mereka yang lalai akan tujuan kebaikan agama mereka dan lupa akan haditshadits
Nabi mereka dalam kumpulan hadits Shahih. Di bawah ini kami kutipkan sebagiannya:
Al-Bukhari13 dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari
r.a., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAWW: "Tunjukkan kepadaku
amalan apa yang dapat memasukkan aku ke dalam surga?" Beberapa dari yang hadir
bertanya: "Gerangan siapa dia?" Jawab Nabi SAWW: "Ia adalah seorang cerdik pandai,"
seraya melanjutkan sabdanya: "Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
suatu apa pun, menegakkan shalat, membayar zakat dan menghubungi sanak kerabat."
13 Dalam kitab Shahih Muslim terdapat banyak hadits yang serupa dengan ini. Silakan Anda pelajari pada jilid
I, bab "Keimanan yang Membawa Seseorang Masuk ke dalam Surga" dan bab "Tentang Orang yang
Menghadap Tuhannya dengan Kebulatan Iman yang Mantap, Akan Dimasukkan dalam Surga dan
Dihindarkan dari Api Neraka". Dan juga pada jilid yang sama ini akan Anda temukan kabar-kabar gembira
yang memuaskan hati seorang Mukmin yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 27
Demikian pula Al-Bukhari meriwayatkan bahwa seorang Arab Badui datang menghampiri
Nabi SAWW seraya bertanya: "Beritahukan kepadaku tentang suatu amal perbuatan; bila
kulaksanakan, aku dapat masuk surga." Jawab Rasulullah SAWW: "Engkau menyembah
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, mendirikan shalat yang fardhu,
mengeluarkan zakat yang wajib, serta berpuasa di bulan Ramadhan." Maka orang itu
berkata: "Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, aku tidak akan berbuat lebih dari ini!"
Setelah orang itu pergi, Nabi SAWW berkata: "Barangsiapa ingin melihat seorang ahli
surga, lihatlah ia."
Berdasarkan beberapa hadits dan berita lainnya, saya memperkirakan bahwa orang Badui
yang dimaksud adalah Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi.14
Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang
Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan
bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam
dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka haq,
niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang telah ia
perbuat."
Juga dalam Shahih Bukhari melalui riwayat dari Junadah, disebutkan pula seperti riwayat
sebelumnya, hanya ditambahkan sedikit di dalamnya, "...melalui kedelapan pintu surga, dari
mana pun ia hendak memasukinya".
14 Dia adalah seorang kaya raya, pemurah dan mulia serta kawan bepergian para raja. Sehingga ia dijadikan
contoh teladan atau perumpamaan dalam kemuliaan seperti dalam bait di bawah ini:
Tiada tempat menggembala lebih baik daripada Sa'dan
Tiada air lebih jernih daripada Shadda'
Tiada pemuda kesatria seperti Malik
Mengenai Malik ini akan kami nukilkan peristiwa yang terjadi padanya bersama Khalid bin Walid pada Bab
VII yang akan datang.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 28
Juga dalam Shahih Bukhari dari Abu Dzar r.a. yang berkata: Aku pernah datang kepada
Rasulullah SAWW ketika beliau sedang tidur dan mengenakan baju putih. Kemudian aku
mendatanginya lagi, dan beliau sudah terjaga. Maka bersabdalah beliau SAWW:
Barangsiapa di antara hamba Allah yang menyebut La ilaha illa Allah kemudian
meninggal dunia, dan ia tetap dalam keadaan ikrarnya itu, maka ia akan masuk surga.
Aku bertanya: "Bagaimana kalau ia pernah berzina atau mencuri?" Jawabnya: "Walaupun
ia pernah berzina atau mencuri." Tanyaku lagi: "Walaupun ia pernah berzina dan
mencuri?" Jawab Rasulullah SAWW: "Ya, walaupun ia pernah berzina dan mencuri, dan
betapa pun Abu Dzar tidak menyukai (ucapan ini)."
Dalam Shahih Bukhari, melalui Abu Dzar pula disebutkan: Telah berkata Nabi SAWW
kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: "Barangsiapa, di antara umatmu, meninggal
dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan
masuk surga (atau ia tak akan masuk neraka)." Kemudian aku bertanya: "Kendatipun ia
pernah berzina dan mencuri?" Jawab Nabi Muhammad SAWW: "Ya, walaupun ia pernah
berbuat hal itu."
Disebutkan di dalamnya dengan sanad dari Abu Dzar, yang berkata: Aku keluar pada suatu
malam, dan kulihat Rasulullah SAWW berjalan sendirian, tidak seorang pun bersamanya.
Ketika itu aku kira beliau sedang tidak ingin seseorang berjalan menyertainya. Maka aku
pun berjalan di belakangnya, di bawah sinar bulan. Namun tiba-tiba beliau menoleh dan
melihatku lalu bertanya: "Siapa ini?" Kujawab: "Abu Dzar, Semoga aku dijadikan penebus
jiwamu."15 Dan beliau memanggilku: "Hai Abu Dzar, kemarilah!" Maka aku pun berjalan
bersamanya sebentar, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang banyak
hartanya di dunia ini, akan menjadi orang-orang yang sedikit pahalanya, pada Hari
Kiamat kelak. Kecuali siapa yang diberi Allah rezeki yang banyak lalu ia menyedekahkan
dengan tangan kanan dan kirinya, dari depan dan belakangnya, serta berbuat kebaikan
dengan hartanya itu." Kata Abu Dzar selanjutnya: Kemudian aku berjalan lagi sebentar
bersamanya, dan beliau berkata kepadaku: "Tunggu di sini sampai aku kembali!" Lalu
beliau pergi ke balik bukit berbatu sehingga aku tak dapat melihatnya. Aku pun
15 Sebuah ungkapan yang biasa diucapkan oleh seseorang kepada orang lain yang sangat dicintainya --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 29
menantinya cukup lama, sehingga kudengar beliau kembali seraya mengucapkan:
"Walaupun ia mencuri dan berzina." Setelah Rasulullah tiba, aku tak sabar untuk
menanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, semoga diriku dijadikan tebusan bagi jiwamu,
siapakah gerangan yang engkau ajak bicara di balik kegelapan malam itu, padahal aku
tidak mendengar seseorang berbicara kepadamu?" Jawab Nabi SAWW: "Dia itu Jibril,
yang menampakkan diri padaku di balik bukit di sana, dan ia berkata: 'Beritahukanlah
kepada umatmu kabar gembira, bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk surga.' Kemudian aku
bertanya kepadanya: 'Ya Jibril, sekalipun ia mencuri dan berzina?' Jawabnya: 'Ya,
walaupun begitu.' Tanyaku lagi: 'Walaupun ia mencuri dan berzina?' 'Ya, kendatipun
begitu,' jawabnya. Aku bertanya lagi: "Walaupun ia mencuri dan berzina?' Jawab Jibril:
'Ya, walaupun ia pernah minum khamr'."
Mungkin yang dimaksud dengan zina, mencuri dan minum khamr dalam hadits di atas ialah
sebagai ungkapan tentang semua dosa besar (kaba'ir). Maka maksudnya ialah barangsiapa
meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Allah Tuhan Yang Mahaesa, ia akan masuk
surga atau tidak masuk neraka, walaupun ia pernah mengerjakan dosa besar. Hal ini sesuai
pula dengan hadits riwayat Ubadah, sebelum ini, yakni ucapan beliau: "... dengan amalan apa
pun yang pernah ia perbuat..."
Catatan Tambahan
Harus diketahui bahwa orang-orang Mukmin yang berbuat maksiat, kelak pada hari Kiamat,
akan diazab sekadar besar-kecilnya dosa-dosa mereka, kemudian setelah itu, mereka akan
beroleh kemuliaan di surga. Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') Ahlul-Bayt serta
Syi'ah (para pengikut dan pendukung) mereka. Yang demikian itu sudah menjadi
pengetahuan setiap orang tanpa keraguan sedikit pun.
Oleh sebab itu, hadits-hadits yang menyatakan adanya jaminan keselamatan bagi kaum
Muslim, apa pun juga amalan-amalan mereka, tidaklah berarti bahwa orang-orang yang telah
berbuat maksiat dari mereka, secara mutlak tidak akan memperoleh siksaan dari Allah SWT.
Tetapi, maksud yang sebenarnya ialah bahwa mereka tidak diazab secara abadi dan langgeng
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 30
sebagaimana yang dialami orang-orang kafir. Oleh sebab itu, hadits-hadits ini atau yang
serupa dengannya tidak boleh menjadi pegangan satu-satunya bagi mereka. Mengenai
kejahatan-kejahatan mereka yang telah lalu, tidak ada sesuatu yang dapat mereka lakukan
kecuali bertobat dan menyesal atau menerima azab di neraka Jahannam, sekadar yang patut
mereka terima, atau adakalanya mereka mendapat ampunan dan maghfirah dari Allah SWT
dan memperoleh syafaat dari para pemberi syafaat (yang beroleh izin dari-Nya).
Tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Mu'adz bin Jabal yang berkata: Aku pernah
membonceng kendaraan Rasulullah SAWW, dan jarak antara aku dengan beliau hanya
bagian belakang untanya. Lalu beliau berkata kepadaku: "Hai Mu'adz!" Jawabku:
"Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah." Sejenak kemudian beliau berkata lagi: "Hai Mu'adz!"
"Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah", jawabku. Lalu beliau berkata: "Tahukah engkau
apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Aku menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu." Sabda beliau: "Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Kemudian setelah berjalan sebentar, beliau
berkata: "Ya Mu'adz bin Jabal!" "Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah," jawabku. Beliau
bertanya lagi: "Tahukah engkau apakah hak hamba atas Allah jika mereka telah
melakukannya?" Jawabku: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau pun
melanjutkan: "Hak hamba atas Allah ialah bahwa Ia tidak menyiksa mereka."
Tercantum dalam Shahih Bukhari dari 'Utbah, yang berkata: Rasulullah SAWW pernah
bersabda: "Tak seorang hamba pun datang --pada Hari Kiamat-- dengan ucapan La ilaha
illa Allah semata-mata demi keridhaan Allah kecuali diharamkan atasnya api neraka."
Juga di dalamnya dari 'Utban bin Malik Al-Anshari pula, bahwa ia mengunjungi Rasulullah
SAWW dan meminta agar beliau singgah ke rumahnya dan shalat di sana, karena ia ingin
menjadikannya sebagai mushalla16 Kemudian 'Utban berkata: Lalu Rasulullah SAWW
berangkat dan shalat dua rakaat bersama kami dan sesudah itu kami suguhkan hidangan
Harirah (tepung yang dimasak dengan susu). Berkata 'Utban selanjutnya: Sesaat
16 Bagaimanakah pendapat para pengikut mazhab Wahhabi tentang isi hadits shahih ini yang bertentangan
dengan doktrin mazhab mereka? (Yakni bahwa para sahabat meminta Nabi SAWW shalat di tempat itu, demi
memperoleh berkahnya --penerj.).
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 31
kemudian, beberapa orang datang ke rumahku, lalu salah seorang dari mereka berkata:
"Mana Malik bin Ad-Dukhsyun?"17 Dan seorang lainnya berkata: "Dia adalah seorang
munafik. Ia tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah SAWW bersabda:
"Jangan berkata demikian, tidaklah kamu melihatnya telah berucap La ilaha illa Allah
semata-mata demi keridhaan Allah?" Jawab orang itu: "Sungguh kami sering melihatnya
pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik." Sabda Nabi SAWW selanjutnya: "Allah
mengharamkan api neraka bagi siapa saja yang mengucapkan La ilaha illa Allah sematamata
karena berharap ridha Allah."
Muslim juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya dengan pelbagai saluran. Akan
tetapi, akhir kalimat hadits yang diriwayatkan itu, sebagai berikut: "Bukankah ia bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah?" Mereka menjawab:
"Ya, memang ia mengucapkan hal itu, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya."
Maka Rasulullah SAWW bersabda: "Tiada seorang pun bersaksi tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa aku adalah Rasul Allah akan dimasukkan ke dalam api neraka atau menjadi
umpannya." Anas berkata: "hadits ini betul-betul membuatku kagum sedemikian sehingga
kusuruh anakku menulisnya."
Perhatikanlah, adakah susunan kalimat lain yang lebih jelas daripada ini yang menetapkan
keselamatan bagi segenap umat yang beriman akan keesaan Allah? Adakah berita gembira
yang lebih besar daripada berita bahwa surga disediakan bagi umat Islam secara
keseluruhan? Sungguh mengherankan, dengan masih adanya orang yang tidak meragukan
kesahihan hadits tersebut, tetapi ia tetap saja menetapkan penilaian yang berlawanan dengan
petunjuk di dalamnya. Tidakkah ia ingat firman Allah:
17 Demikianlah yang termaktub dalam Shahih Bukhari yang naskahnya ada pada saya.
Mungkin yang benar ialah Malik bin Dukhsyum (dengan m) bukan Dukhsyun (dengan n). Nama lengkapnya:
Malik bin Ad-Dukhsyum bin Ghunm bin 'Auf bin 'Amr bin 'Auf, yaitu salah seorang yang pemah turut serta
dalam peperangan Badr dan peperangan-peperangan sesudahnya. Dia pulalah yang menawan Suhail bin
'Amr pada perang Badr. Kendatipun demikian ia dikenal sebagai seorang munafik. Hanya Allah saja yang
lebih tahu tentang keadaannya yang sebenarnya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 32
...hendaknya orang-orang yang melanggar perintah-Nya takut akan ditimpa bencana atau
azab yang pedih... (An-Nur: 63)
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dari Anas,
yang berkata: Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Allah menunjukkan firmanNya kepada
penghuni neraka yang paling ringan azabnya, pada hari Kiamat: 'Seandainya kau
memiliki segala suatu yang ada di bumi, bersediakah engkau menebus dirimu dengan
semua itu?' Maka orang itu akan berkata: 'Ya!' Allah pun akan berfirman: 'Dahulu Aku
hanya menginginkan sesuatu darimu yang jauh lebih ringan dari ini, ketika engkau masih
dalam sulbi Adam, yaitu agar kau tidak menyekutukanKu dengan sesuatu pun, namun
engkau mengabaikannya dan tetap menyekutukanKu'."
Mungkin, yang dapat disimpulkan dari hadits ini ialah bahwa sesungguhnya orang itu diazab
dengan api neraka semata-mata karena ia tidak mau kecuali menyekutukan Allah. Seandainya
bukan karena hal itu, ia pasti akan selamat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlut-
Tauhid (yakni semua kaum Muslim) pasti akan selamat.
Hadits tersebut menunjukkan pula bahwa penghuni neraka yang paling ringan azabnya ialah
si musyrik. Maka dapatlah disimpulkan bahwa tidak seorang pun muwahhid (orang yang
mengesakan Allah) akan berada di sana. Sebab, seandainya di sana ada seorang muwahhid,
niscaya azabnya lebih ringan dari si musyrik. Tentunya hal terakhir ini bertentangan dengan
kandungan hadits tersebut.18
Dalam keenam kitab Shahih, Musnad Ahmad, kitab-kitab Ath-Thabrani, dan lain-lain, banyak
dijumpai hadits seperti ini. Terutama dalam kelompok hadits-hadits syafaat, antara lain
seperti dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa kelak (pada Hari Kiamat) akan dikatakan
kepada Nabi Muhammad SAWW: "Keluarkan dari neraka siapa yang mempunyai iman
dalam kalbunya walau seberat biji sawi."
18 Karena seorang muwahhid, dari kalangan Muslim, walaupun ia melakukan dosa terbesar pun, tidak akan
mendapat siksaan sepedih orang-orang musyrik (meskipun seandainya si musyrik ini tidak melakukan dosa
apa pun selain kemusyrikannya).
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 33
Dan seandainya kami hendak mengetengahkan semua hadits syafaat yang mengandung kabar
gembira yang amat mengagumkan, terutama yang tercantum dalam kedua kitab Shahih itu,
niscaya persoalannya akan berkepanjangan. Tetapi kami hanya mengisyaratkan, agar dapat
diteliti kembali oleh siapa saja yang menginginkannya. Bahkan, lebih dari yang telah
dinukilkan sebelum ini, Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari 'Utsman bin 'Affan
bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan
mengetahui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga."
Jelas sekali --menurut hadits ini-- bahwa sekadar mengetahui (secara sadar) akan keesaan
Allah, dapat menyebabkan seseorang masuk surga.
Begitu juga sebuah hadits serupa, yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Kabir,
dari 'Imran bin Hushain yang berkata: Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa
mengetahui (menyadari) bahwa Allah adalah Tuhannya, dan bahwa aku adalah Nabi-Nya
dengan disertai ketulusan hatinya, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari jilatan
api neraka."
Riwayat-riwayat ini lebih terang-benderang daripada cahaya matahari di siang hari. Dan
kesahihannya lebih dikenal daripada api di atas gunung yang tinggi. Di dalamnya tercantum
berita-berita yang menggembirakan, yang mungkin agak meringankan diri seorang Muslim
dari akibat perbuatan dosa-dosa besar yang menjerumuskan.
Nah, silakan mengkajinya kembali dalam kitab-kitab hadits Ahlus-Sunnah, agar Anda
memahami betapa semua itu menetapkan surga bagi Anda maupun mereka (yakni kaum
Syi'ah)19. Semua yang telah kami sebutkan, tidaklah lebih dari serpihan sebutir biji atau setitik
air dari gelombang samudera. Kami cukupkan di sini apa yang telah disebutkan oleh Al-
19 Karena setiap penganut mazhab Imamiyah maupun Sunnah, kedua-duanya beriman kepada Allah,
membenarkan Rasulullah SAWW, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji,
berpuasa di bulan Ramadhan, beriman kepada Hari Kebangkitan, menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram, sebagaimana yang disaksikan oleh perkataan dan perbuatan mereka, dan
seperti yang dapat disimpulkan secara pasti dari buku-buku mereka, yang lama maupun yang baru, dan yang
ringkas maupun yang terinci.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 34
Bukhari dalam kitab Shahih-nya. dan diulang-ulanginya dalam beberapa bab dari kitabnya itu
dengan pelbagai saluran sanad yang berbeda-beda. Kami pun tidak merasa perlu
menyuguhkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab Shahih lainnya, sebab dengan
kadar yang kami paparkan di atas, telah cukup jelas bagaikan cahaya yang menyingsing di
pagi hari.
Lebih dari itu, kami memiliki banyak hadits shahih lainnya yang kami peroleh melalui kedua
belas Imam kami:
Diriwayatkan oleh para Imam penunjuk jalan, ucapan dan hadits mereka selalu dimulai
dengan: Datuk kami (Nabi SAWW) meriwayatkan dari Jibril, yang menerimanya dari
Allah Tuhan Maha Pencipta.
Itulah As-Sunnah yang kedudukannya langsung setelah Al-Kitab. Dan itulah perisai yang
menyelamatkan dari azab. Simaklah dari kitab Ushul Al-Kafi dan lainnya, hadits-hadits yang
mengumandangkan berita-berita gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah, Rasul-
Nya dan Hari Akhir. Walaupun banyak di antaranya yang mengkhususkan keteranganketerangan
di atas yang bersifat umum dengan persyaratan walayah20 terhadap keluarga
Rasulullah dan 'itrah-nya. yang suci. Yaitu mereka yang oleh Rasulullah SAWW dikaitkan
secara langsung dengan Al-Quran, dan dijadikan panutan bagi ulul-albab, bagaikan bahterabahtera
penyelamat apabila gelombang-gelombang fitnah dan bencana datang menerjang.
Mereka itu laksana bintang-bintang penunjuk jalan apabila kegelapan kesesatan menghalangi
pandangan, pintu pengampunan satu-satunya bagi siapa saja yang ingin memperolehnya atau
buhul tali yang kuat erat tempat bergabung seluruh umat demi kesatuan. Maka tidak syak lagi
bahwa walayah mereka merupakan bagian dari Ushul Ad-Din (pokok-pokok agama). Untuk
menjelaskan hal itu, kami telah cukup banyak menyebutkan argumentasi amat kuat serta
bukti-bukti yang terang benderang, baik berupa dalil-dalil 'aqliyah maupun naqliyah. Kami
mempersilakan para peneliti menelaahnya dalam kitab karangan kami berjudul Sabil Al-
Mu'minin yang di dalamnya telah kami jelaskan setiap jalan menuju kebenaran dan kami
20 Yang dimaksud dengan walayah atau wilayah ialah mendukung, mencintai dan menjadikan keluarga
Rasulullah sebagai wali atau pemimpin yang diikuti-- penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 35
singkapkan dengan kekuatan logikanya setiap awan kegelapan yang menghadang. Dan segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 36
Larangan Pengkafiran terhadap Para Pengucap Syahadatain
Di bawah ini kami ketengahkan sekelumit fatwa ulama Ahlus-Sunnah mengenai sahnya
keimanan Ahlut-Tauhid secara keseluruhan dan keselamatan pengucap dan pengikrar dua
kalimat syahadat.
Hal ini kami lakukan agar diketahui akan adanya keserasian antara nash dan fatwa
tentangnya, dan demi mengutuhkan kembali keretakan yang telah dialami kaum Muslim.
Sebab, setiap orang berakal bilamana dapat membaca nash-nash dalam buku-buku hadis
yang sahih serta fatwa-fatwa para ulama yang menegaskan tentang sahnya keimanan semua
Ahlut-Tauhid serta terjaminnya keselamatan bagi mereka secara keseluruhan, maka sesudah
itu tidak mungkin timbul suatu perasaan yang mampu merenggangkan hubungannya dengan
sesama Muslim lainnya ataupun merintanginya dari persatuan dan kesatuan.
... orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi
sebagian yang lain. (At-Taubah: 71).
Mengapa mereka bercerai-berai dan saling mempertentangkan mazhab-mazhab mereka,
padahal mereka adalah sama-sama saudara dalam Agama? Apa sebabnya api permusuhan
membakar segala hubungan baik di antara mereka?
Kalau saja mereka mau kembali kepada fatwa-fatwa para alim ulama mereka yang adil dan
lurus, pasti mereka akan yakin dan percaya sepenuhnya bahwa masalahnya sangat
bertentangan dengan omong kosong kaum penyebar fitnah. Nah, kini perhatikanlah
keterangan-keterangan di bawah ini.
Pada pasal 58 dalam kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir, Asy-Sya'rani menyebutkan bahwa ia
pernah melihat tulisan tangan Asy-Syaikh Syahabuddin Al-Adzra'i, penulis buku Al-Qut,
sebuah pertanyaan yang disampaikannya kepada Syaikh Al-Islam Taqiyuddin As-Subki,
sebagai berikut: "Bagaimanakah pandangan paduka yang mulia Syaikh Al-Islam tentang
perbuatan melontarkan tuduhan sebagai 'kafir' terhadap para ahli bid'ah (dalam hal akidah)?"
Kemudian datanglah jawaban (dari As-Subki) kepadanya: "Ketahuilah wahai saudaraku,
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 37
bahwa keberanian mengkafirkan orang-orang yang beriman21 adalah sesuatu yang amat
serius. Setiap orang yang menyimpan keimanan dalam kalbunya, akan merasa sangat takut
melontarkan ucapan pengkafiran terhadap para ahli bid'ah itu, sementara telah mengikrarkan
kalimat La ilaha illa Allah Muhammad Rasul Allah. Sungguh, pengkafiran adalah perkara
yang amat serius dan sangat berbahaya...," demikian seterusnya sampai akhir keterangannya
yang panjang lebar serta sangat mengkhawatirkan akibat pengkafiran yang sangat buruk itu.
Bacalah Al-Yawaqit wa Al-Jawhir buah karya Asy-Sya'rani tersebut. Kitab itu telah memikul
jawaban terinci yang disampaikan oleh As-Subki yang pada akhirnya ia mengingatkan: "Maka
demi menjaga adab dan sikap lurus, setiap Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari
perbuatan mengkafirkan siapa pun dari para ahli bid'ah itu, kecuali apabila mereka secara
terang-terangan berlawanan dengan nash-nash yang jelas dan pasti dan yang tidak
mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan."
Begitulah jawabannya. Tak diragukan lagi, bahwa ia hanya dapat membenarkan tindakan
pengkafiran, semata-mata terhadap orang yang menyimpang dari nash-nash yang amat jelas
dan tergolong ma'lum min ad-din bi adh-dharurah (sesuatu yang secara pasti diketahui
sebagai bagian tak terpisahkan dari Agama). Itu pun jika penyimpangannya itu berdasarkan
sikap kepala batu serta pengingkaran terang-terangan.
Dengan fatwanya ini, As-Subki telah meremukkan tulang punggung para penyebar beritaberita
bohong, menyumbat mulut-mulut berdosa orang yang sok pintar dan membuyarkan
impian orang-orang yang ingin memecah-belah kesatuan kaum Muslim.
Dalam kitab Ath-Thabaqat karya Asy-Sya'rani, halaman 10, disebutkan: Yang mulia Syaikh
Al-Islam Taqiyuddin As-Subki pernah ditanya tentang hukum pengkafiran orang-orang ahli
bid'ah yang ekstrem serta mereka yang hobinya memperbincangkan sifat dan zat Allah SWT
yang Mahasuci. Beliau r.a. menjawab: "Ketahuilah, bahwa setiap orang-orang yang takut
kepada Allah SWT niscaya menganggap pengkafiran terhadap orang yang mengucapkan La
ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah sebagai tuduhan yang amat besar dosanya!"
Kemudian Asy-Sya'rani mengutip jawaban As-Subki selanjutnya yang pada penutupnya ia
21 Perhatikan bagaimana ia menyebutkan "orang-orang beriman" untuk menunjuk kepada para ahli bid'ah itu!
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 38
berkata: "... maka hukum pengkafiran hanyalah boleh ditujukan kepada orang yang
mengingkari dua kalimat syahadat dan keluar dari agama Islam secara keseluruhan..."
Pada hemat saya, adanya beberapa perbedaan dalam kedua pertanyaan dan jawaban di atas
menunjukkan bahwa memang telah terjadi dua kali pertanyaan dan dua kali jawaban, seperti
tampak jelas dalam susunan kalimatnya.
Jelas sekali, bahwa Imam besar ini membatasi dibolehkannya pengkafiran hanya terhadap
orang yang secara terang-terangan mengingkari dua kalimat syahadat. Jelas pula bahwa ia
tidak menyetujui adanya pengkafiran terhadap kaum Muslim walaupun yang tergolong ahli
bid'ah atau yang mempunyai kebiasaan memperbincangkan sifat dan zat Allah Yang Maha
Suci.
Nah, setelah penjelasan ini, masihkah kita perlu mempedulikan omong kosong orang-orang
yang memang sengaja hendak mengobarkan api permusuhan atau para pembuat fitnah? Jika
seperti itu penilaian Imam tersebut terhadap orang-orang yang gemar memperbincangkan
sifat dan zat Allah SWT, betapa pula kira-kira penilaiannya terhadap orang-orang Muslim
yang biasa bertobat, beriman, beramal saleh kemudian beroleh hidayah?
Berkata Asy-Syaikh Ibn Arabiy pada bab Wasiat dalam bukunya Al-Futuhat Al-Makkiyah:
"Jauhkanlah dirimu dari memusuhi para pengikrar La ilaha illa Allah. Mereka itu memiliki
kedudukan walayah 'ammah (perwalian umum) dan mereka adalah wali-wali (kekasih)
Allah. Kalau pun mereka pernah bersalah dan datang menghadap Allah dengan dosa-dosa
sebanyak isi bumi, sementara mereka tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatu apa
pun, maka Allah SWT akan menyambut mereka dengan ampunan dan maghfirah sebanyak
itu pula.22
22 Keterangannya itu merupakan kutipan dari hadis yang disahihkan dan dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, dan
dirawikan oleh Anas r.a., yang berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAWW bersabda, bahwa Allah
SWT berfirman: "Wahai anak Adam! Selama engkau berdoa dan mengharap (ampunan)-Ku, maka Aku pasti
mengampuni apa saja yang telah engkau lakukan dan Aku tak perduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosadosamu
itu mencapai ketinggian langit, kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku
berikan ampunan padamu. Wahai anak Adam! Seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa-dosa
sepenuh bumi, kemudian engkau menghadap Aku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 39
Demikianlah ucapannya. Seperti yang Anda lihat, dengan ucapannya itu, Ibn Arabiy telah
menetapkan walayah (kewalian) bagi semua Ahlut-Tauhid. Juga penggembiraannya dengan
ampunan bagi orang-orang yang melakukan kesalahan atau dosa, di samping pernyataannya
bahwa Tauhid menghapus dosa-dosa besar dan menyelamatkan pengikrarnya. Dan segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Sayyid Rasyid Ridha, dalam majalah Al-Manar (jilid 17, halaman 44) mengatakan:
"Sesungguhnya malapetaka paling hebat yang menimpa firqah-firqah (kelompok-kelompok)
Islam ialah kebiasaan saling melontarkan tuduhan kefasikan dan kekafiran di kalangan
mereka. Padahal tujuan dari semua firqah itu ialah demi mencapai kebenaran yang mereka
perjuangkan dengan segala upaya sungguh-sungguh dalam mendukung, menghayati dan
menyeru kepadanya. Maka seorang mujtahid (yakni yang telah berdaya upaya secara tulus
untuk mencapai kebenaran) akan terampuni apabila ia bersalah..."
Demikianlah uraiannya yang panjang mengenai hal ini sehingga mencapai halaman 50 dari
majalahnya itu. Silakan menelitinya kembali.
Dan berkatalah An-Nabhani dari Beirut dalam permulaan bukunya Syawahid Al-Haq23:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak ber-i'tiqad dan tidak membenarkan pengkafiran
terhadap salah seorang dari kaum Muslim, baik golongan Wahhabi ataupun yang lainnya.
Mereka semuanya adalah Muslim yang disatu-padukan dengan Muslim lainnya oleh kalimat
Tauhid dan keimanan kepada Nabi Muhammad SAWW serta ketetapan-ketetapan yang
disyariatkan dalam agama Islam... dan seterusnya."
apa pun, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu sebanyak itu pula."
Hadis ini telah disebutkan pula oleh An-Nawawi dalam kitab hadis Arba'in-nya. Yaitu hadis terakhir dari
kumpulan empat puluh hadis sahih.
23 Kitab ini telah dicetak, dan pada hamisy (tepi)-nya tercetak pula sebuah risalah oleh An-Nabhani tersebut
tentang keutamaan-keutamaan Mu'awiyah yang diberinya judul Al-Badi'ah fi igna' Asy-Syi'ah. Kami telah
menyanggahnya dengan sebuah kitab setebal tiga kali lipatnya yang kami beri judul Adz-Dzari'ah ila naqdh
Al-Badi'ah.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 40
Asy-Sya'rani dalam kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir, jilid II, telah menulis dalam pembahasan
yang ke-58 secara panjang lebar tentang sahnya iman setiap Muslim yang melakukan shalat
menghadap kiblat. Pada akhir tulisan itu ia berkata: "Telah Anda ketahui, wahai saudaraku,
dari pernyataan kami dalam pembahasan ini, bahwa seluruh ulama yang bertanggung jawab
senantiasa menahan diri dari menujukan pengkafiran kepada siapa pun di antara Ahlul-
Qiblah (yakni kaum Muslim).
Dinukilkan oleh sekelompok besar tokoh terkemuka Muslim, di antaranya Asy-Sya'rani dalam
pembahasan yang tersebut di atas, dari Abu Al-Mahasin Ar-Rauyani dan lainnya dari ulamaulama
Baghdad semuanya, bahwa mereka mengatakan: "Tidak dibenarkan mengkafirkan
(mencap sebagai kafir) seorang di antara penganut mazhab-mazhab Islam, mengingat bahwa
Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa menunaikan shalat seperti kita,
menghadap kiblat kita, makan daging sembelihan kita, maka berlakulah hak dan
kewajiban atasnya seperti kita."
Dalam bab-bab yang lalu telah kami sebutkan tentang sejumlah nash yang mengandung
makna tersebut. Kitab-kitab kumpulan hadis sahih cukup sarat dengannya. Silakan
menelitinya kembali. Syaikh Abu Tahir Al-Qazwini dalam kitabnya Siraj Al-'Uqul telah
melampaui para penulis lainnya dengan menetapkan keislaman setiap orang per orang yang
termasuk Ahlul-Qiblat serta memastikan keselamatan bagi semua golongan (firqah) Islam.
Untuk itu, ia menakwilkan hadis yang masyhur yang mengatakan: "Akan terpecah-pecah
umatku menjadi 73 golongan, satu golongan di antaranya yang selamat dan sisanya
masuk neraka." Berkenaan dengan itu ia berkata bahwa dalam beberapa riwayat dan saluran,
teks hadis tersebut berbunyi: "... semuanya di surga kecuali satu firqah"24.
Selanjutnya, Al-Qazwini dalam pembahasannya itu telah menetapkan (mengabsahkan)
keimanan setiap orang yang mengikrarkan syahadatain dengan tulus, termasuk dari
kelompok-kelompok menyimpang serta golongan ahli bid'ah, seperti golongan Mu'tazilah,
24 Dirawikan oleh Ibn An-Najjar, Asy-Sya'rani menukilkan dalam pembahasan ke-58 dari Yawaqit-nya,
beberapa pendapat para ulama, bahwa yang dimaksud dengan satu golongan yang masuk neraka itu adalah
kaum zindiq.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 41
An-Najariah, Rawafidh25, Khawarij, Musyabbihah, dan sebagainya. la juga menilai bahwa
mereka menetapkan semua akan beroleh keselamatan pada Hari Kiamat kelak. la juga telah
menukilkan dari mayoritas ulama dan para khalifah sejak masa para Sahabat sampai masa
hidupnya sendiri, tentang keislaman mereka semuanya. la berkata: Mereka tergolong Ahl
Ijabah (yakni orang-orang yang memenuhi seruan dakwah Nabi SAWW). Maka barangsiapa
berani mengkafirkan mereka, berarti ia betul-betul telah berbuat zalim dan melewati batas..."
Demikian sampai akhir ucapannya sebagaimana telah disampaikan kepada kami oleh
sebagian dari guru-guru kami secara langsung dari kitab Siraj Al-'Uqul. Asy-Sya'rani secara
lengkap membentangkannya dalam pembahasan ke-58 dari Yawaqit-nya. yang merupakan
kutipan dari kitab itu juga. Silakan menelitinya.
Berkata Ibn Taimiyah pada permulaan risalah Al-Istighatsah, yaitu risalah ke-12 dari
kumpulan Ar-Rasail Al-Kubra, halaman 470, juz I, yang isinya demikian: Ahlus-Sunnah wal
Jamaah sepakat bahwa Rasulullah SAWW akan memberikan syafaat bagi orang-orang yang
melakukan dosa-dosa besar (al-kaba-ir), dan tidak seorang pun dari Ahlut-Tauhid akan kekal
dalam neraka.26
Berkata Ibn Hazm, ketika membahas mengenai orang yang boleh dikafirkan (dicap sebagai
kafir) dan yang tidak berhak dikafirkan dalam kitab Al-Fishal fi Al-Ahwa' wa Al-Milal wa An-
Nihal, halaman 247, di akhir jilid III, seperti berikut: "Ada sekelompok (ulama) berpendapat
bahwa tidak boleh dikafirkan atau difasikkan seorang Muslim hanya karena ucapannya yang
berkaitan dengan salah satu aspek akidah atau fatwa yang dikeluarkannya. Dan bahwa setiap
orang yang mempunyai pendapat tertentu berdasarkan ijtihadnya lalu ia melaksanakan hasil
ijtihadnya yang dianggapnya benar (haq) maka ia akan memperoleh pahala. Jika hasil
ijtihadnya itu benar, ia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika salah, ia akan memperoleh
satu pahala saja."
25 Demikianlah susunan kata-katanya, kami kutip tanpa perubahan.
26 Dengan demikian Ahlus-Sunnah sepakat bahwa kaum Syi'ah akan masuk surga juga. Hal ini tak diliputi
keraguan sedikit pun mengingat bahwa mereka termasuk Ahlut-Tauhid dan mereka beriman kepada segala
yang dibawa oleh Nabi SAWW.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 42
Kemudian Ibn Hazm melanjutkan: "Demikianlah pendapat Ibn Abi Laila, Abu Hanifah,
Syafi'i, Sufyan Ats-Tsauri dan Dawud bin Ali. Dan seperti itu pula pendapat para Sahabat
yang kami ketahui mempunyai pendapat dalam masalah ini, tak ada pendapat lain selain itu."
Demikianlah, fatwa yang datangnya dari para imam itu seyogianya menghentikan keributan
yang selalu dibangkitkan oleh para perusuh. Hal ini mengingat bahwa lawan-lawan pendapat
mereka (dari kelompok Syi'ah) yang juga tergolong Ahlul-Qiblah, tidak pernah mengatakan
suatu pendapat atau ber-i'tiqad tentang sesuatu, kecuali setelah mereka berijtihad secara
sempuma, memeras tenaga dan pikiran sejauh kemampuan, demi menyimpulkan (istimbath)
hukumnya dari Al-Quran, As-Sunnah dan ucapan-ucapan para imam dari keluarga
Muhammad SAWW Dan mereka tidak pernah mengerjakan sesuatu kecuali yang mereka
ketahui dan yakini bahwa itulah yang haq dan inti kebenaran. Dan berdasarkan kesimpulan
dan penilaian para tokoh tersebut di atas (yang merupakan imam-imam kalangan salaf dan
khalaf) maka mereka (kaum Syi'ah) tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad mereka benar
ataupun salah. Sungguh hal itu berlawanan dengan ulah sebagian orang yang gemar
mengkafirkan kaum Mukmin dan selalu berkeras hati untuk memecah belah persatuan dan
kesatuan kaum Muslim.
Ahmad bin Zahir As-Sarkhasi, yang tergolong sahabat utama Al-Imam Abu Al-Hasan Al-
Asy'ari (sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Sya'rani di akhir pembahasan ke-58 dalam
Yawaqit-nya), berkata: Ketika Asy-Syaikh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari sedang menjalani detikdetik
terakhir dari hidupnya di rumahku di Baghdad, beliau menyuruhku mengumpulkan
sahabat-sahabatnya. Ketika mereka telah berkumpul, ia berkata: "Saksikanlah bahwa aku
tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslim (ahlul-qiblat) hanya karena suatu dosa
yang dilakukannya. Sebab, mereka semuanya menunjuk kepada Al-Ma'bud yang satu, yakni
Allah Tuhan Yang Mahaesa; sedangkan agama Islam meliputi mereka semuanya."
Demikianlah ucapan Imam utama kalangan Ahlus-Sunnah. Cukuplah ini menjadi hujjah yang
membatalkan ucapan-ucapan kaum tak bertanggungjawab.
Amat sering pula kita mendengar ucapan Imam Asy-Syafi'i tentang terlarangnya pengkafiran
terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan ahli bid'ah, selama mereka masih
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 43
tergolong Ahlul-Qiblat. Salah satu ucapannya tentang hal ini (seperti dalam bagian penutup
kitab Ash-Shawa'iq: "Aku bersedia menerima kesaksian para ahli bid'ah kecuali kelompok Al-
Khattabiyah27."
Telah berkata Syaikh Al-Islam Al-Makhzumi (Seperti dikutip oleh Asy-Sya'rani dalam
pembahasan ke-58 dari kitab Yawaqit-nya): Imam Syafi'i, dalam Risalah-nya., telah
menandaskan penolakannya terhadap pengkafiran ahli bid'ah. Tentang ini ia berkata: "Aku
tidak akan mengkafirkan ahli bid'ah hanya karena suatu dosa yang mereka lakukan." Dan
menurut riwayat lainnya ia pernah berkata: "Aku tidak akan mengkafirkan seseorang dari
kaum Muslim (Ahlul-Qiblat) karena dosa yang diperbuatnya." Dalam riwayat lainnya lagi ia
berkata: "Aku takkan mencap para ahli takwil yang berlawanan dengan makna yang zhahir,
sebagai orang kafir, hanya lantaran dosanya."
27 Al-Khattabiyah adalah para pengikut Abu Al-Khattab Muhamad bin Miqlash Al-Ajda' --semoga laknat dan
kutukan Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tertimpa kepadanya dan kepada mereka semuanya--. Ia
adalah seorang yang ekstrem (dari kelompok Ghulat) yang rusak akidahnya berkenaan dengan Imam Ja'far
Ash-Shadiq a.s.*) Menganut kepercayaan yang sangat menyimpang serta mazhab yang busuk. Tidak
diragukan kekafirannya serta kekafiran pengikut-pengikutnya, sedemikian sehingga Al-Imam Ash-Shadiq
telah berlepas tangan terhadapnya serta mengutuknya. Beliau juga memerintahkan kepada kaum Syi'ah agar
berlepas tangan terhadapnya serta mengutuknya. Ucapan serta kutukannya mengenai mereka ini sungguh
amat keras dan tegas. Siapa saja ingin mengetahui ucapan beliau berkenaan dengan manusia laknat ini,
hendaknya membaca buku karangan Al-Kissyi dan buku-buku biografi lain karangan tokoh-tokoh kami
(kaum Imamiyah). Banyak perbuatan bid'ah yang berasal dari si kafir ini. Antara lain, mengundurkan shalat
Maghrib sampai tampak jelas bintang-bintang di langit. Orang-orang yang tidak mengerti, telah
menisbahkan bid'ah ini kepada kami (Syi'ah Imamiyah). Padahal kami jauh sekali darinya. Kepada Allah
kami menyatakan berlepas tangan dari bid'ah ini dan penciptanya. Adapun yang menjadi pegangan kami
dalam hal ini ialah bahwa waktu Maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari dari semua ufuk di hadapan
orang yang shalat. Hal itu terwujud dengan hilangnya warna kemerah-merahan di langit, sebagaimana dapat
diketahui oleh orang yang merujuk kitab fiqh kami.
*) Menurut As-Syahrastani dalam bukunya, Al-Milal wa An-Nihal, Abu Al-Khattab ini melukiskan Imam Ja'far
Ash-Shadiq as dengan sifat-sifat ke-Tuhanan. Ketika hal ini diketahui oleh Imam Ja'far, ia memanggilnya dan
sangat marah kepadanya. Namun ia kembali lagi kepada bid'ah-nya itu sehingga Imam Ja'far melaknatnya
dan berlepas tangan darinya --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 44
Para pengikut mazhab Syafi'i telah sepakat untuk tidak mencap kaum Khawarij sebagai
orang-orang kafir. Dalam usaha pembenaran atas sikap ini disebutkan bahwa mereka (kaum
Khawarij) telah melakukan penakwilan (usaha penafsiran) namun keliru dalam penyimpulan.
Oleh sebab itu, pehdirian mereka masih mengandung kesamaran (syubhat) tertentu sehingga
tidak bisa dinyatakan sebagai batil secara gath'iy (pasti). Keterangan seperti ini dapat dibaca
pada bagian penutup kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah28.
28 Cukup mengherankan sikap ragu-ragu seperti itu kendatipun ada sebuah hadis sahih yang dikeluarkan oleh
Al-Bukhari pada bab "Mendesak Kaum Murtad dan Pembangkang Agar Bertobat atau Memerangi Mereka"
(Shahih Bukhari, jilid IV) dengan sanad sampai Abu Sa'id Al-Khudri; suatu hadis yang di dalamnya
disebutkan tentang kaum Khawarij: Telah bersabda Rasulullah SAWW: "...mereka itu keluar dari agama
laksana anak panah melesit dari busurnya. Bila diteliti bulu panahnya, tak ada bekas yang tampak padanya.
Bila diteliti ujung panahnya tak ada bekas yang tampak padanya. Bila diteliti lubang busurnya, tempat anak
panah dimasukkan, tak ada bekas yang tampak padanya. Kemudian bila diteliti sandaran busurnya, tak suatu
bekas pun tampak padanya. (Ini merupakan kiasan tentang hilangnya agama dari diri mereka sehingga tak
sedikit pun bekasnya yang tertinggal --penerjemah). Namun anak panah itu telah menembus tubuh, melalui
darah dan kotoran. Tanda (atau ciri) mereka ialah seorang laki-laki dari mereka, salah satu tangannya (atau
satu payudaranya) seperti payudara wanita (dalam riwayat lain: seperti sepotong daging yang kenyal).
Mereka itu muncul pada saat manusia (kaum Muslim) sedang bercerai-berai."
Al-Bukhari berkata selanjutnya bahwa telah berkata Abu Sa'id: "Aku bersaksi telah mendengarnya dari
Rasulullah. Dan aku bersaksi bahwa Ali telah memerangi mereka. Aku bersamanya ketika dihadirkan ke
hadapannya (mayat) orang itu dengan ciri-ciri seperti yang dilukiskan oleh Nabi SAWW" (Al-Hadits).
Hadis tersebut juga disebutkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, juz I, pada pasal "Kaum Khawarij dan
Sifat-sifat Mereka" di akhir bab "Zakat". Begitu pula Ahmad dalam Musnad-nya telah merawikannya dari
Abu Sa'id. Bersama mereka, juga mayoritas para ahli hadis lainnya.
Muslim dalam kitab Shahih-nya, pada pasal "Kaum Khawarij adalah Manusia atau Makhluk Terjahat", pada
bab "Zakat", telah mengeluarkan sebuah hadis dari Abu Dzar yang berkata bahwa Rasulullah SAWW pernah
bersabda: "Sepeninggalku, kelak, akan muncul satu kaum dari umatku; mereka membaca Al-Quran tapi tidak
dapat melampaui tenggorokan-tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama laksana lepasnya anak panah
dari busurnya dan kemudian mereka tidak kembali ke dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk."
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, juz III, halaman 224, telah merawikan sebuah hadis dari Anas bin
Malik dan Abu Sa'id, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Apabila sedang terjadi penelisihan dan
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 45
Al-Allamah ibn Abidin pada bab "Kemurtadan" dalam kitab Radd Al-Mukhtar, berkata
sebagai berikut: "Tersebut dalam kitab Fath Al-Qadir bahwa kaum Khawarij, yang
menghalalkan darah dan harta kaum Muslim serta mengkafirkan para Sahabat, maka
menurut jumhur al-fuqaha (mayoritas ahli fiqih) dan ahli hadis, ditetapkan hukum mereka
sebagai bughat29."
Kata Ibn Abidin selanjutnya: "Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa mereka (kaum
Khawarij) adalah orang-orang murtad." Tetapi Al-Munzir berkata: "Aku tidak pernah
mengetahui seorang pun yang setuju dengan para ahli hadis yang mengkafirkan mereka itu."
Katanya lagi: "Berdasarkan ini, dapatlah dikatakan adanya ijma' fuqaha tentang tidak
diperkenankannya pengkafiran terhadap kaum Khawarij."
Demikian itulah, kendatipun Rasulullah SAWW telah menandaskan bahwa sesungguhnya
mereka itu telah keluar dari agama laksana melesatnya anak panah dari busurnya. Dan bahwa
mereka adalah makhluk terjahat seluruh jagat ini. Dan bahwa mereka itu tidak memiliki
kaitan apa pun dengan Allah SWT. Dan bahwa orang yang membunuh mereka atau mati
dibunuh oleh mereka akan memperoleh thuba (yakni nama surga atau keberuntungan amat
besar).
Nah, jika orang-orang Khawarij yang sifat-sifatnya seperti itu tetap dianggap sebagai Muslim,
secara ijma', maka bagaimana kiranya penilaian Anda tentang orang yang masuk lewat
pintu pengampunan, ikut berlayar di atas bahtera-bahtera penyelamat, berpegang teguh
pada tali Allah, mengikuti ats-tsaqalain (yakni Al-Quran dan keluarga Rasulullah SAWW),
perpecahan di antara umatku, akan muncul satu kelompok yang pandai berbicara tetapi buruk
perbuatannya ..." demikian seterusnya, sampai ucapan beliau: "Mereka itu keluar dari agama bagaikan
melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak kembali lagi ke dalamnya, tetapi makin lama makin
menjauh. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk. Beruntunglah orang yang membunuh mereka atau
dibunuh oleh mereka. Mereka mempunyai kebiasaan mengajak manusia untuk kembali kepada Kitab Allah,
sementara mereka tidak sedikit pun mempunyai bagian di dalamnya."
29 Yaitu orang-orang yang memberontak terhadap kepala pemerintahan Islam. Mereka wajib diperangi
sehingga mereka kembali patuh kepadanya. Jika telah mematuhi perintah-perintahnya, maka bagi mereka
berlaku hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban seluruh kaum Muslim.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 46
memasuki kota ilmu melalui pintunya dan berlindung kepada jaminan keamanan umat
dari perselisihan dan pertengkaran.?30
Dan jika orang-orang Khawarij itu dianggap tetap tergolong kaum Muslim, maka siapakah
selain mereka dari Ahlul-Qiblat (umat Islam) yang bisa dicap sebagai kafir? Dan pengikut
aliran yang manakah di antara kaum Muslim yang tidak memiliki syubhat (kesamaran dalam
pendiriannya antara sesat dan tidak) seperti syubhat-nya kaum Khawarij?
Pernah kubaca keterangan yang serupa dan semakna seperti di atas, yang ditulis oleh salah
seorang pemuka kalangan Hanafiyah, Muhammad Amin, yang lebih dikenal dengan nama Ibn
'Abidin, pada pasal "Orang murtad", dari bab "Jihad", halaman 302, jilid III, kitab Radd Al-
Mukhtar. Di dalamnya ia menandaskan, tanpa keraguan sedikit pun, tentang masih tetapnya
keislaman orang yang mencaci-maki para Sahabat berdasarkan penakwilan (atau ijtihad)-nya.
Secara terang-terangan ia menyatakan bahwa pendapat yang membolehkan pengkafiran
orang-orang yang bertakwil itu adalah pendapat yang berlawanan dengan ijma' fuqaha dan
tidak sesuai sama sekali dengan keterangan-keterangan fuqaha itu dalam kitab-kitab mereka.
Dan bahwa pengkafiran terhadap mereka itu, kalau pun ada, maka hal itu datangnya dari
para pengikut suatu mazhab, bukan dari tokoh-tokoh besar fuqaha yang disebut sebagai para
mujtahid.
Kata Ibn 'Abidin selanjutnya: "Apa yang dinukilkan dari para tokoh fuqaha ialah seperti yang
telah kami sebutkan di atas. Adapun pendapat dari selain fugaha, tidak terlalu penting untuk
dihiraukan... dan seterusnya."
Keterangan tentang hal itu cukup luas memuat dalil-dalil serta contoh-contoh yang sangat
memuaskan bagi siapa saja yang membacanya.
Di samping itu, Ibn 'Abidin juga pernah membahas masalah ini dengan cara yang lebih
ringkas daripada yang telah disebutkan di atas. Bagi mereka yang berkepentingan, silakan
membacanya dalam kitabnya yang lain, yakni Tanbih Al-Wulat wa Al-Hukkam. Meskipun
30 Yang dimaksud dengan mereka yang memiliki sifat-sifat itu ialah Ahlul-Bayt sesuai dengan beberapa hadis
Rasulullah SAWW. --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 47
demikian, pembahasannya dalam kitabnya, Radd Al-Mukhtar, lebih memuaskan bagi para
ulama peneliti.
Al-Allamah Al-Mulla 'Ali Al-Qari Al-Hanafi telah menyusun sebuah makalah yang
menyanggah pendapat orang-orang yang mengkafirkan para penakwil itu, sebagaimana telah
ditandaskan oleh Ibn 'Abidin pada keterangan yang lalu.
Ibn Hazm dalam kitabnya Al-Fishal, pada bagian akhir jilid III, halaman 257, berkata sebagai
berikut: "Adapun orang yang mencerca salah seorang dari para Sahabat (semoga ridha Allah
terlimpah atas mereka); jika ia seorang bodoh mengenai hal itu, maka ia dapat dimaklumi
(dimaafkan). Tetapi, jika ia sudah diberitahu dengan dalil yang cukup namun ia terus saja
melakukan pencercaan, tanpa sikap melawan Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah seorang
fasik, seperti orang yang berzina atau mencuri. Tetapi, sekiranya ia sengaja melawan Allah
dan Rasul-Nya dalam hal itu, maka ia adalah seorang kafir."
Selanjutnya Ibn Hazm berkata: "Umar bin Khaththab r.a. pernah berucap di hadapan Nabi
Muhammad SAWW mengenai pribadi Hatib (seorang dari kalangan Muhajirin dan pernah
mengikuti perang Badr): 'Biarkan aku memenggal leher orang munafik ini!' Dengan ucapan
mengkafirkan Hatib ini, Umar tidak bisa dianggap telah kafir, tetapi dalam hal ini ia dinilai
sebagai bersalah dalam penakwilan (pemahaman)-nya."
Menurut hematku, Ibn Hazm hendak menjelaskan bahwa pokok masalah dalam hal
pengkafiran ini ialah sikap menentang Allah dan Rasul-Nya. Sikap seperti ini tak mungkin
terwujud pada orang yang menjadikan Islam sebagai Agamanya.
Walaupun demikian, memang adakalanya si pencaci itu seorang jahil atau diliputi syubhat
(keraguan) yang mendorongnya melakukan pencacian itu (semoga Allah melindungi kita).
Dalam keadaan seperti itu tentunya dapat dimaklumi dan dimaafkan kesalahannya itu.
Masih ada lagi dalil lain yang menunjukkan tidak kafirnya seorang Muslim yang melakukan
pencercaan seperti itu. Yakni hadis-hadis Nabi SAWW yang menetapkan keislaman
seseorang, tanpa menyinggung soal pencercaan tersebut, sebagaimana telah Anda baca pada
Bab-bab II, III, IV dan V dalam buku ini.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 48
Sebagai tambahan, dapatlah disebutkan pula sebuah hadis yang disampaikan oleh Al-Qadhi
'lyadh dalam bukunya Asy-Syifa (Bab I, Pasal IV) dan dinukilkan dari Al-Qadhi Ismail dan
beberapa tokoh ulama lainnya, bahwa seorang laki-laki mencerca Abu Bakar r.a. di
hadapannya. Maka berkatalah Abu Barzah Al-Aslami: "Wahai Khalifah, perkenankanlah aku
memenggal lehernya. Namun Abu Bakar berkata kepadanya: 'Duduklah, hal itu tidak berlaku
untuk siapa pun kecuali (cercaan) yang ditujukan kepada Rasulullah SAWW'"31
Dalam kitab Asy-Syifa disebutkan bahwa seorang pejabat Umar bin Abdul-Aziz di Kufah
meminta pertimbangannya untuk menjatuhkan hukuman mati atas seorang laki-laki yang
telah mencerca Umar r.a. Maka melalui surat yang dikirimnya, Umar bin Abdul-Aziz menulis
kepadanya: "Tidak dihalalkan membunuh seorang Muslim hanya karena ia mencerca
seseorang, kecuali orang yang mencerca Rasulullah SAWW. Barangsiapa mencerca beliau,
maka dihalalkan darahnya."
Nah, rupa-rupanya pembicaraan kita telah menyimpang dari yang dimaksudkan sebenarnya.
Padahal tujuan utamanya tak lain kecuali mendekatkan antara sesama kaum Muslim serta
mengingatkan bahwa mereka adalah saudara dalam agama. Kami tak sedikit pun meragukan
bahwa mencerca siapa pun di antara kaum Mukmin dapat mendatangkan kebinasaan dan
kefasikan. Apalagi bila cercaan itu ditujukan kepada seseorang dari salaf (para pendahulu)
kita yang saleh dari kalangan Sahabat dan Tabi'in. Sedangkan Rasulullah SAWW telah
bersabda: "Mencerca seorang Mukmin adalah bagian dari kefasikan dan membunuhnya
adalah bagian dari kekufuran."
Kini, marilah kita kembali kepada topik pembicaraan semula. Telah dikutip oleh Ali bin Hazm
Azh-Zhahiri (lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm) dari sejumlah tokoh mazhab Al-Asy'ari,
pendapat-pendapat mereka yang mengarah kepada tidak dibenarkannya pengkafiran kepada
siapa pun. Perhatikanlah ucapan (Ibn Hazm) dalam rangka kecamannya yang keras terhadap
kaum Murji'ah, dalam bukunya, Al-Fishal, jilid IV, halaman 206, sebagai berikut: "Adapun
31 An-Nasai merawikan melalui Abu Barzah Al-Aslami yang mengatakan: Pernah aku datang ke tempat Abu
Bakar ketika ia sedang berbicara keras kepada seorang laki-laki. Orang itu membantahnya dengan keras pula
sehingga aku berkata: "Ya Khalifah, perkenankanlah aku memenggal lehernya." Jawab Abu Bakar:
"Duduklah! Hal itu tidak boleh dilakukan kecuali cercaan yang ditujukan kepada Rasulullah SAWW."
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 49
kaum Asy'ariyah, mereka mengatakan bahwa pencercaan yang dilakukan oleh orang yang
mengaku sebagai Muslim, terhadap Allah dan Rasulullah, walaupun dengan cercaan yang
paling keji sekali pun serta mendustakan Allah dan Rasul-Nya secara terang-terangan, tanpa
ditutupi, tanpa pernyataan: 'telah mendengarnya dari orang lain,' atau bahkan mengakui
bahwa itu dilakukannya dengan penuh kesadaran; semua itu tidak termasuk kekafiran."
Dalam kitab Al-Fishal pula pada jilid yang sama, halaman 204, Ibn Hazm menisbahkan
kepada Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan para muridnya, bahwa mereka berpendapat
"Iman itu adalah akad dalam hati walaupun (orang itu) mengumumkan kekafiran dengan
ucapannya --tanpa taqiyyah (yakni bukan karena terdorong oleh rasa takut)-- dan walaupun
ia menyembah berhala atau menganut paham Yahudi atau Nasrani, sedangkan ia hidup di
negara Islam, atau ia menyembah salib dan menyatakan menganut paham trinitas, sedangkan
ia hidup di negara Islam. Seandainya ia melakukan itu semua seraya mengikrarkan keimanan
di dalam hatinya, maka ia adalah seorang Mukmin yang sempurna keimanannya di sisi Allah
dan termasuk ahli surga."
Jelas, kalau pendapat seperti tersebut di atas memang benar berasal dari Al-Imam Al-Asy'ari
dan para pengikutnya --sedangkan mereka itu merupakan keseluruhan dari saudara-saudara
kami, Ahlus-Sunnah, di masa sekarang-- maka masalah yang sedang kita perbincangkan ini
menjadi mudah dan ringan. Apabila mereka, karena ini, tidak dapat mengkafirkan orang yang
mengucapkan kekufuran secara terang-terangan, maka betapa pula mereka dapat
mengkafirkan orang yang hati sanubarinya penuh dengan pengkudusan (taqdis) terhadap
Allah Azza wa Jalla, jiwanya terpaut erat dengan pensucian terhadap-Nya, pembuluhpembuluh
darahnya bergetar dengan tasbih kepada-Nya, dagingnya tumbuh dan tulangnya
mengeras dalam pengesaan (tauhid) kepada-Nya, otak dan darahnya bercampur dengan iman
yang mengalir dalam semua unsur yang membentuk dirinya, sedemikian sehingga lidahnya
bersaksi atas semua itu, anggota-anggota tubuhnya patuh merunduk, gerak dan diamnya
mengakuinya sepenuhnya, seraya beriman kepada Rasul-Nya, yakin seyakinnya bahwa semua
yang diajarkan olehnya benar-benar datang dari Allah, maka ia menghidupkan apa yang
dihidupkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah dan mematikan apa yang dimatikan oleh keduaduanya!
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 50
Tetapi sungguh menyedihkan, bahwa kita (kaum Muslim) diuji dengan adanya manusiamanusia
yang tekadnya hanya memecah belah kaum Muslim dan kegemarannya hanya
menyebar permusuhan di kalangan kaum muwahhidin, seraya ...mereka menduga bahwa
yang dilakukannya itu adalah perbuatan baik... (Al-Kahfi: 104) ...akan tetapi sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang yang berbuat kerusakan, namun mereka tidak
menyadarinya... (Al-Baqarah: 12).
Berkata Al-Auza'i: "Demi Allah, seandainya tubuhku digergaji sekali pun, aku takkan
mengucapkan pengkafiran terhadap para pengucap syahadatain."
Ibn Sirin berkata: "Seluruh ahli qiblat (kaum Muslim) akan selamat."
Al-Hasan Al-Bashri ketika dimintai keterangan tentang para penganut aliran sesat (ahlulakwa'),
berkata: "Semua ahli Tauhid dari umat Nabi kita, Muhammad SAWW, pasti masuk
surga."
Pernah ditanyakan kepada Az-Zuhri mengenai seorang yang terlibat dalam pertikaianpertikaian
antara sesama Muslim dan ikut berperang di dalamnya? Jawabnya: "Si pembunuh
dan yang terbunuh sama-sama masuk surga, sebab kedua-duanya adalah dari golongan
pengucap La ilaha illa Allah."
Sufyan Ats-Tsauri berkata: "Janganlah engkau ikut atau mendukung perbuatan permusuhan
terhadap seorang ahli Tauhid, walaupun ia telah diselewengkan dari kebenaran oleh hawa
nafsunya sendiri. Sebab ia tidak akan binasa karenanya."32
Sa'id bin Al-Musayyib mengatakan: "Janganlah engkau memusuhi seorang yang menganut
agama Islam walaupun ia salah (dalam akidah, ibadah atau muamalahnya) sebab setiap
Muslim pasti memperoleh ampunan Allah."
Berkata Ibn 'Uyainah: "Seandainya binatang buas mencabik-cabik diriku, lebih kusukai
daripada menghadap Allah Ta'ala seraya memendam permusuhan terhadap seseorang yang
menganut keimanan kepada keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAWW"
32 Yakni tidak akan diperlakukan oleh Allah seperti seorang kafir --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 51
Pada hakikatnya, hikmah atau hasil apakah yang akan diperoleh dari sikap memusuhi
seseorang yang berbeda pandangan dengan kita sendiri? Bukankah sikap seperti itu justru
akan mendorongnya untuk dengan sengaja mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan hati
Anda atau menambah ketegarannya dalam hal-hal yang berlawanan dengan pendapat Anda.
Sedangkan kebebasan mazhab dan agama memberinya hak untuk berbeda pendapat.
Padahal, seandainya Anda mendekatkan diri kepadanya lalu berdiskusi dengannya dengan
cara yang bijaksana, mudah-mudahan akan tampak baginya kebenaran pendapat Anda
sehingga ia akan mengikuti Anda, atau barangkali justru dialah yang menunjukkan kebenaran
bagi Anda sehingga Anda bersepakat dengannya. Betapapun juga, tentunya ia tidak berbeda
pendapat dengan Anda karena sikap ingin menentang kebenaran, atau karena lebih menyukai
kebatilan. Sebab, sikap seperti tidak sekali-kali akan dimiliki oleh seorang yang berakal sehat
dalam upayanya untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Memang, sesungguhnya lawan pendapat Anda itu telah digiring --tanpa kemauannya
sendiri-- untuk berbeda (atau berlawanan) dengan Anda dalam sebagian hukum furu' (cabang
Agama) oleh pelbagai dalil yang pasti serta argumentasi yang terang benderang. Bahkan jika
pertentangannya dengan Anda itu dianggap sebagai hal-hal yang samar-samar (syubhat), itu
pun harus Anda maklumi atau Anda maafkan. Sebab, selain hal itu berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah, dalil-dalil dan argumen-argumen itu telah membimbingnya ke arah kesimpulan
yang diyakininya. Dalam hal ini, jika hasil pemahamannya itu benar, maka ia akan beroleh
dua pahala. Atau, kalau tidak, maka kaum Muslim telah sepakat (ijma') untuk memaklumi
atau memaafkan orang yang telah bertakwil (berijtihad) --dalam hal-hal di luar pokok agama
atau Ushul Ad-Din-- walaupun ia keliru (dalam hasil ijtihadnya itu). Demikian itulah yang
dapat dibaca dalam tulisan-tulisan mereka atau disaksikan dalam ucapan dan perbuatan
mereka.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 52
Hadis-hadis Nabi SAWW yang Menggembirakan Kaum
Syi'ah
Amat banyak hadis sahih mengenai hal ini yang disalurkan melalui Al-'Itrah (keluarga suci
Rasulullah SAWW). Inilah sebagian yang diriwayatkan pula oleh para ahli hadis Ahlus-
Sunnah melalui saluran-saluran sanad mereka.
Sebagaimana yang tertera pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'ig Al-Muhriqah karangan Ibn
Hajar, Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zarnadi meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Ketika Allah SWT
menurunkan ayat,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu
sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al-Bayyinah: 7-8).
Rasulullah SAWW berkata kepada Ali r.a.: "Mereka itu adalah kamu dan syi'ah (pendukungpendukung)-
mu. Pada Hari Kiamat kelak, kamu dan mereka akan datang dalam suasana
ridha dan diridhai. Sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan gelisah dan
terbelenggu."
Al-Hakim telah pula meriwayatkan dalam kitab Syawahid At-Tanzil, dari Ibn Abbas r.a.: "Ayat
ini (Al-Bayyinah : 7-8) diturunkan berkenaan dengan Ahlul-Bayt." Begitu juga Ibn Hajar,
pada Pasal I, Bab XI dari Ash-Shawa'iq, telah menggolongkannya dalam ayat-ayat yang
diturunkan berkenaan dengan mereka.
Dalam kitabnya, Syawahid At-Tanzil pula, ia (Al-Hakim) telah meriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib: Pada detik-detik terakhir ketika Rasulullah SAWW hendak menghembuskan
napasnya yang terakhir, seraya bersandar di dadaku, beliau berkata, "Hai Ali, tidakkah
kau dengar firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh itu adalah sebaik-baik makhluk? (Al-Bayyinah: 7). Mereka itu adalah syi'ah
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 53
(pendukung-pendukung)-mu. Kelak, tempat janji pertemuanku dengan kau dan mereka
sekalian adalah telaga Al-Haudh. Mereka akan dipanggil dalam keadaan putih bersih dan
bersinar wajah-wajahnya."
Ad-Dailami merawikan, seperti termaktub pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'iq Al-
Muhriqah, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hai Ali, sesungguhnya Allah SWT
telah mengampuni engkau, anak-anakmu, keturunanmu, keluargamu, syi'ah (pengikutpengikut)-
mu dan para pencinta syi'ah-mu."
Ath-Thabrani dan banyak ahli hadis lainnya meriwayatkan bahwa pada hari "peristiwa
Basrah" dihadapkan kepada Ali r.a. sejumlah emas dan perak (hasil rampasan perang). Ali
berkata: "Hai 'kuning dan putih', perdayakanlah orang-orang selain aku. Perdayakan orangorang
Syam jika mereka memperolehmu, kelak!" Ucapannya ini membuat gelisah banyak
orang dari pengikutnya33. Ketika hal ini disampaikan kepada Ali r.a., ia memanggil mereka
dan berkata: "Sesungguhnya kekasihku, Rasulullah SAWW, pernah bersabda: 'Hai Ali,
sesungguhnya kamu dan syi'ah (para pengikut)-mu akan menghadap Allah SWT dalam
keadaan ridha dan diridhai. Sebaliknya, musuh-musuhmu akan menghadap-Nya dalam
keadaan gelisah dan terbelenggu lehemya.' (Kemudian Ali mengangkat tangannya dan
menggenggamkannya dilehernya seolah-olah belenggu yang membuat lehernya tertengadah
ke atas).
Ibn Hajar telah menukil hadis ini di halaman 92, dalam Ash-Shawa'iq-nya., seraya
mengomentarinya dengan ucapan-ucapan yang amat menggelikan sedemikian hingga
membuat seorang ibu yang kematian anaknya tertawa. Kami hanya mengambil apa yang
diriwayatkannya dan berpaling dari komentarnya itu34.
33 Mereka tadinya mungkin mengharapkan emas dan perak (yang diperoleh sebagai hasil rampasan perang
Jamal) akan dibagi-bagikan kepada mereka, dan tidak dimasukkan ke dalam Bayt Al-Mal Penerj.
34 Komentar Ibn Hajar (dalam Shawa'iq-nya), setelah menyebutkan hadis-hadis tentang keutamaan Ali r.a. dan
Syi'ah-nya, tersebut di atas adalah: "... Janganlah hendaknya kaum Rafidhah dan Syi'ah mengira, dengan
adanya hadis-hadis seperti ini, bahwa merekalah yang dimaksud dengan para pencinta Ahlul-Bayt (keluarga
Nabi)'. Sebab mereka telah melampaui batas dalam kecintaan terhadap Ahlul-Bayt sedemikian sehingga
terjerumus kepada pengkafiran para sahabat dan penyesatan umat. Sedangkan Ali r.a. pemah berkata: 'Akan
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 54
Ath-Thabrani meriwayatkan, dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96, bahwa Rasulullah bersabda
kepada Ali: "Empat orang pertama yang memasuki surga adalah aku, engkau, Hasan, Husain,
dan kemudian anak keturunan kita di belakang serta syi'ah (pengikut-pengikut) kita di
samping kanan dan kiri kita." Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib-nya seperti tercantum
dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96 juga telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW
bersabda kepada Ali r.a.: "Tidakkah engkau merasa puas bahwasanya engkau dan aku berada
di surga, sedangkan Hasan dan Husain serta syi'ah (pendukung-pendukung) kita berada di
sisi kanan dan kiri kita."
Al-Hakim merawikan sebagaimana yang tertera dalam kitab tafsir Majma' Al-Bayan tentang
ayat "al-mawaddah fil-qurba" (kasih sayang terhadap sanak keluarga Rasulullah SAWW
[Asy-Syura: 23]), bahwa Abul-Bahili berkata, Rasulullah SAWW pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Maka aku
adalah pokoknya, Ali cabangnya, Fathimah serbuk sarinya, Al-Hasan dan Al-Husain
buahnya dan para syi'ah (pengikut) kita adalah dedaunannya. Oleh sebab itu barangsiapa
bergantung pada salah satu dahannya, ia pasti selamat, dan barangsiapa menyimpang
darinya akan terjatuh. Meskipun seorang hamba menyembah Allah SWT sepanjang seribu
tahun, kemudian seribu tahun lagi sehingga menjadi seperti tempat air dari kulit yang
sudah keriput, sementara ia tidak mencintai kita, maka Allah SWT akan
mengempaskannya di atas batang hidungnya ke dalam neraka." (Kemudian beliau SAWW
membaca firman Allah SWT):
Katakanlah: "Tiada apa pun yang kuminta dari kamu atas seruanku ini selain kasih
sayang kepada kerabatku." (Asy-Syura: 23).
binasa siapa melampaui batas dalam mencintaiku...'"
Selanjutnya Ibn Hajar berkata: "... yang dimaksud dengan syi'ah (atau para pendukung dan pencinta) Ali r.a.
dalam hadis-hadis seperti ini ialah Ahlus-Sunnah, karena merekalah yang benar-benar mencintai Ali dan
Ahlul-Bayt pada umumnya serta syi'ah (para pendukung) mereka, seperti diperintahkan Allah dan Rasul-
Nya. Adapun orang-orang selain mereka, pada hakikatnya, adalah musuh-musuh. Sebab, kecintaan yang
keluar dari batas syariat dan yang menyimpang dari jalan kebenaran, adalah permusuhan terbesar yang
membawa kepada kebinasaan..." penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 55
Siapakah yang Dimaksud dengan Syi'ah Ali?
Tiada keraguan sedikit pun, bahwa syi'ah (para pendukung) Ali dan Ahlul-Bayt adalah orangorang
Muslim yang mengikuti mereka (Ahlul-Bayt) dalam urusan agama dan mendukung
mereka. Alhamdulillah, kami telah mengikuti mereka sepenuhnya dalam seluruh cabang
agama dan akidahnya, ushul-fiqh serta kaidah-kaidahnya, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadis dan Al-Quran serta ilmu akhlak, perilaku dan sopan santun. Semua itu sebagai
manifestasi ketundukan kami sepenuhnya kepada kepemimpinan mereka serta demi
pengakuan atas perwalian mereka. Kami pun selalu mendukung para pencinta mereka dan
menjauhi musuh-musuh mereka sebagai perwujudan kaidah-kaidah kecintaan serta
penerapan norma-norma akhlak dalam hal kasih sayang terhadap keluarga Rasulullah SAWW
Dengan demikian kami selalu bertindak sebagai syi'ah (pendukung) mereka sementara
mereka selalu kami jadikan sebagai wasilah dan perantara.
Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada kami untuk mengikuti agama-Nya serta
taufik-Nya atas kami untuk memenuhi seruan yang disampaikan oleh Rasulullah SAWW agar
berpegang teguh pada Ats-Tsaqalain (Al-Quran suci dan 'itrah, keluarga suci Nabi SAWW),
serta memasuki "kota ilmunya" melewati "pintunya". Yaitu "pintu pengampunan dosa",
"jaminan keamanan bagi segenap penghuni bumi", serta "bahtera-bahtera penyelamat bagi
umat ini". Dan sekali lagi, segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami jalan ini. Sungguh
kami tiada akan memperoleh hidayah seandainya Allah SWT tiada memberinya kepada kami.
Dalam kitab Ash-Shawa'iq, halaman 91, diriwayatkan dari Ibn Sa'ad bahwa Ali berkata:
Rasulullah SAWW pernah mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya orang pertama
yang masuk surga adalah aku, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Aku bertanya, "Ya
Rasulullah, bagaimana dengan para pencinta-pencinta kita?" Jawab beliau: "Mereka
berada di belakang kalian."
Ad-Dailami meriwayatkan seperti yang tersebut dalam kitab di atas sebuah hadis marfu':
"Putriku Fathimah diberi nama seperti itu karena Allah SWT telah memisahkannya serta
para pencintanya dari jilatan api neraka."35
35 Begitu pula An-Nasai telah merawikan seperti itu, sebagaimana yang terdapat pada halaman 96 kitab Ash-
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 56
Pada halaman dan kitab yang sama, Ahmad bin Hanbal dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAWW menggandeng tangan Hasan dan Husain seraya bersabda: "Siapa pun
yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, serta ayah dan ibu mereka berdua, maka
ia akan bersamaku pada derajatku di Hari Kiamat kelak."36
Dalam At-Tafsir Al-Kabir, Ats-Tsa'labi meriwayatkan dengan sanad kepada Jarir bin Abdullah
Al-Bajali, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam
keadaan mencintai keluarga Muhammad37, maka ia mati syahid. Barangsiapa mati dalam
keadaan mencintai keluarga Muhammad, niscaya ia akan terampuni. Barangsiapa
Shawa'iq.
36 Abu Dawud telah pula merawikannya seperti tertulis pada halaman 103 dalam Ash-Shawa'iq dan
ditambahkan di dalamnya: ... dan mati dalam keadaan mengikuti sunnahku ..." Dengan ini, dapat diketahui
bahwa mengikuti sunnah beliau tidaklah akan tercapai kecuali dengan mencintai mereka (keluarga
Rasulullah SAWW).
37 Yang dimaksud dengan keluarga Muhammad dalam hadis ini dan semacamnya adalah keseluruhan mereka
yang diwakili oleh Imam-imam mereka. Yaitu mereka yang merupakan para khalifah (pengganti) Rasulullah
SAWW, pengemban wasiatnya, wali-walinya serta pewaris-pewaris kekuasaannya. Dan mereka adalah yang
disebut oleh beliau sebagai satu di antara dua tsaqal (benda amat berharga) di samping tsagal lainnya, yaitu
Al-Quran, yang kedua-duanya tidak akan berpisah sampai Hari Kiamat. Maka, siapa saja berpegang teguh
pada kedua-duanya, pasti takkan tersesat, dan siapa saja yang meninggalkan keduan-duanya, pasti tak
beroleh petunjuk.
Jadi yang dimaksud dengan keluarga Muhammad di sini bukanlah mencakup semua orang perorang dari
mereka. Karena martabat yang amat tinggi ini tidak akan diperoleh kecuali secara khusus oleh para wali Allah
yang teguh menjalankan perintah-perintah-Nya. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis shahih yang mutawatir
dari saluran al-'itrah, keluarga suci Rasulullah SAWW. Namun, memang benar bahwa mencintai semua
keluarga Rasulullah SAWW dan semua anak keturunannya merapakan kewajiban, mengingat bahwa mereka
itu adalah ranting-ranting yang berasal dari pohon Rasulullah SAWW yang suci. Hanya dengan cara teperti
ini, akan diperoteh derajat yang dekat kepada Allah SWT serta syafaat dari datuk mereka, Rasulullah SAWW.
Sehubungan dengan ini, aku pernah mewasiatkan kepada anak-anakku supaya mcnuliskan hadis ini di atas
kain kafanku, sesudah dua kalimat syabadat, agar aku dapat berjumpa dengan Allah SWT bersamanya. Kini
kuulang-ulang lagi dan kutandaskan wasiatku kepada mereka. Dan hendaknya dituliskan pula di atas
serbanku.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 57
meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka ia mati dalam
keadaan bertobat. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad,
maka berarti ia mati dalam keadaan beriman yang sempurna. Barangsiapa mati dalam
keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka Malaikat Al-Maut beserta Munkar dan
Nakir akan mengabarinya dengan surga. Barangsiapa meninggal dalam keadaan
mencintai keluarga Muhammad akan diantar ke surga laksana pengantin perempuan yang
diantar ke rumah suaminya. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai
keluarga Muhammad, maka Allah SWT akan menjadikan kuburannya sebagai tempat
kunjungan Malaikat rahmat. Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga
Muhammad, maka ia mati (sebagai pengikut) sunnah (Muhammad) dan anggota jamaah
(kaum Muslim). Adapun Orang yang meninggal dunia dalam keadaan membenci keluarga
Muhammad, maka, di Hari Kiamat kelak, akan tertulis di antara kedua matanya 'Orang ini
telah putus asa dari rahmat Allah '. " ( Al-Hadits)
Az-Zamakhsyari telah menukilkan hadis ini, secara mursal, dalam tafsir ayat "Al-Mawaddah fi
Al-Qurba", surah Asy-Syura: 23, dalam kitab tafsir Kasysyaf-nya, sebagai hadis yang tidak
mengandung keraguan sedikit pun. Demikian pula para penyusun tulisan mengenai
"Manaqib" dan Fadha'il" telah meriwayatkan hadis ini, adakalanya dengan menyebutkan
sanadnya, namun adakalanya secara mursal, yakni tanpa merasa perlu menyebutkan
sanadnya.
Anda pun pasti tahu bahwa martabat yang mulia ini dikaruniakan kepada mereka, mengingat
bahwa mereka adalah "bukti-bukti Allah" yang amat kuat, tempat menimba air syariat-Nya
yang jernih dan bersih. Mereka adalah orang-orang kepercayaan-Nya sepeninggal Nabi
Muhammad SAWW Dan mereka adalah duta-duta-Nya dalam penyampaian amar ma'ruf nahi
munkar. Itulah sebabnya, barangsiapa mencintai mereka karena hal tersebut, maka ia adalah
pencinta AUah dan siapa membenci mereka maka ia adalah pembenci Allah SWT Mengingat
hal inilah, Al-Farazdaq menyenandungkan bait-bait syairnya tentang mereka (Ahlul-Bayt):
... Mereka itu dari keluarga mulia
kecintaan terhadap mereka adalah sebagian dari agama
kebencian terhadap mereka adalah kekafiran
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 58
Dekat kepada mereka berarti keselamatan!
Jika dihitung-hitung orang yang bertakwa
Merekalah pemuka-pemukanya!
Atau, bila ada orang yang bertanya:
Siapa penghuni bumi paling utama?
Jawabnya pasti: Itulah mereka!
Dalam kitab Ash-Shawa'iq, Bab IX, di bagian akhir Pasal 2, halaman 75, disebutkan bahwa
Imam Ahmad merawikan dari Ali, yang berkata: Pemah Rasulullah SAWW mencariku lalu
menemuiku di sebuah kebun. Beliau bersabda; "Bangkitlah, demi Allah, sungguh aku akan
membuatmu ridha! Engkau adalah saudaraku dan ayah putra-putraku. Engkau berjuang
demi tegaknya sunnahku. Barangsiapa mati dalam keadaan berpegang teguh pada
pesanku, maka ia tergolong ahli surga. Dan barangsiapa wafat dalam keadaan
mencintaimu, maka ia telah memenuhi kewajibannya. Dan siapa pun meninggal dunia
dalam keadaan mencintaimu sesudah kematianmu, niscaya Allah SWT akan menjamin
keselamatan dirinya serta keimanannya selama matahari masih terbit dan terbenam."
Pada penjelasan makna kedua dari makna-makna yang disebut dalam penafsiran ayat "almawaddah
fi al-qurba", dalam kitabnya Ash-Shawa'iq, Ibn Hajar menyebutkan sebuah
hadis38:
Nabi Muhammad SAWW pada suatu hari muncul di hadapan sahabat-sahabatnya dengan
wajahnya yang berseri-seri laksana bulan purnama. Abdur-Rahman bin Auf bertanya
mengenai itu. Maka Rasul SAWW bersabda: "Berita gembira disampaikan Tuhanku
kepadaku mengenai saudaraku, sepupuku serta putriku. Yaitu bahwa Allah mengawinkan
Ali dengan Fathimah, dan memerintahkan malaikat Ridwan, penjaga pintu surga, untuk
menggerakkan pohon thuba (di surga) sehingga menumbuhkan lembaran-lembaran
sejumlah para pencinta Ahlul Bayt-ku. Dan Ia menciptakan di bawahnya malaikat dari
cahaya, lalu menyampaikan satu lembar kepada setiap malaikat. Maka apabila tiba Hari
38 Baca kitab Ash-Sahawa'iq, halaman 103. Hadis ini juga dirawikan oleh banyak dari kalangan para penulis
masalah manaqib dan fadha-il (keutamaan para sahabat).
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 59
Kiamat, berserulah para malaikat di antara seluruh makhkik. Dan tidak terkecuali seorang
pun dari pencinta-pencinta Ahlul-Bayt melainkan disodorkan sehelai surat kepadanya
sebagai tanda keselamatan dari azab neraka. Dengan demikian, jadilah saudaraku,
sepupuku dan putriku sebagai pembebas dari api neraka bagi sejumlah besar laki-laki dan
wanita dari umatku."
Hadis-hadis seperti ini tidak mungkin tercakup semuanya dalam tulisan ini. Namun cuplikan
sebagiannya di atas, mudah-mudahan cukup memuaskan bagi siapa saja yang dikaruniai
Allah SWT hidayah dan inayah-Nya.
Dan mudah-mudahan sesudah keterangan ini, setiap Syi'i mengerti bahwa kalangan Ahlus-
Sunnah telah berkata yang sebenarnya serta mengakui. Begitu pula semoga orang Sunni
mengetahui bahwa sesudah adanya berita-berita yang menggembirakan ini, tidak akan
muncul lagi perasaan kurang senang terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan Syi'ah.
Salam sejahtera serta rahmat Allah dan berkah-Nya atas mereka yang senantiasa mengikuti
sunnah dan menjauhi segala bentuk fitnah.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 60
Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar
Kasus-kasus Penakwilan
Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi
pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan
integritas) mereka.
Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para
penakwil39 diantara kaum Muslim.
Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang
baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia
sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau).
Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda,
berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman
(atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam
perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi"
seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda,
berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.
Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku --
kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan -- agar memandang dengan
pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari
manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya?
Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan
39 Istilah takwil, menakwilkan, penakwilan dan sebagainya akan sering Anda jumpai dalam buku ini. Asal kata
takwil berarti penafsiran suatu ucapan, dan dapat juga digunakan untuk penafsiran mimpi. Kemudian kata
takwil digunakan untuk penafsiran Al-Quran. Seperti yang digunakan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsimya
berjudul Al-Kassyaf 'an Haga'ig At-Tanzil wa 'Uyun Al-Agawil fi Wujuh At-Ta'wil. Adakalanya kata takwil
identik dengan kata ijtihad yang positif, tetapi adakalanya juga berkonotasi negatif, yaitu ijtihad atau
penafsiran yang dilakukan demi tujuan-tujuan pribadi atau suatu golongan, dan bukan demi kebenaran.
Semua arti ini tentunya dapat dipahami sesuai konteksnya masing-masing --penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 61
yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, Ia justru memberi mereka pahala atasnya. Kita
meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga
atas mereka yang datang kemudian.
Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para
Sahabat serta Tabi'in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah
kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di
atas.
Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar
Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr,
pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar.
la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai
protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15
Hijriah. Ia dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu
Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah
itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa
As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir
atau buku sejarah lainnya.
Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan
tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama
Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun
meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat.
Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena
itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.
Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la
juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari
sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula
menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan
terjemahan bebas --penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga
kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 62
mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki
medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti
semula!"40
Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih
baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap
menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah
tidak akan menyatakan --tanpa ragu-- bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga
yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti
yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.
Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya,
'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi,
Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin
'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa
tokoh lainnya. Mereka semua --pada mulanya-- menolak memberikan bay'at, sebagaimana
tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang
hari yang cerah41.
Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia berbay'at
sampai setelah wafatnya Fathimah r.a. --pemuka utama kaum wanita-- yang menyusul
Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.
Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn
40 Ucapannya ini ditujukan kepada beberapa tokoh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah,
sebagai tantangan untuk berperang -- penerj.
41 Bacalah bagian akhir bab "Perang Khaibar", halaman 36, dalam Shahih Al-Bukhari, jilid III, cetakan Mesir
tahun 1309 H. Dan pada catatan kakinya terdapat komentar As-Suddi. Atau bacalah kitab Shahih Muslim
pada bagian "Jihad", bab "Sabda Rasulullah SAWW: Kami (para Nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami
tinggalkan merupakan sedekah" (juz II, halaman 72, cetakan Mesir, tabun 1327 H). Anda akan memperoleh
keterangan yang jelas mengenai penolakan untuk ber-bai'at dengan sanad sampai Um Al-Mukminin Aisyah
r.a.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 63
Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H,
dalam buku Tarikh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas
peristiwa Saqifah dalam bukunya Al-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halamanhalaman
pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut
peristiwa bai'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir42 dan Abu Al-Fida ketika
menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya
berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah
bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang
pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan
penolakan mereka memberikan bai 'at (kepada Abu Bakar)43. Dan dirawikan pula oleh Asy-
Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-
Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab
Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil
oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar
karya Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah
menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk
memberikan bai'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).
Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasanalasan
para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.)
saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali)
dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT?
Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya? Atau
menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan
yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani
42 Kitab ini (Raudhah Al-Manadzir) dan Muruj Adz-Dzahab, keduanya tercetak di samping kitab Al-Kamil karya
Al-Atsir. Adapun Muruj Adz-Dzahab tercetak bersama kelima jilid pertama dari kitab Al-Kamil tersebut.
Sedang kitab Tarikh Ibn Asy-Syahnah, tercetak di samping jilid terakhir yang terdiri atas juz XI dan XII.
Adapun yang kami nukilkan di sini, dapat Anda baca pada halaman 112, juz XI.
43 Lihat Muruj Adz-Dzahab yang tercetak di samping buku Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir, halaman 259, pada
akhir jilid VI.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 64
mendakwakan bahwa ia --dengan sikapnya itu-- telah memisahkan diri dari Al-Quran,
"saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya
takkan berpisah?44 Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa --dengan perbuatannya
itu-- ia telah menyimpang dari kebenaran, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan
segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah
menjauh dari yang haq, sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:
"Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, berputar
bersamanya ke mana saja ia berputar."
Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan
ia tidak mengetahui hukum pembai'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam
hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat
ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang
Al-Quran?
Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pembai'at-an itu. Dan
dialah yang berucap pada waktu itu45: "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat
dihilangkan kecuali dengan darah!". Ia kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota
Madinah seraya berseru dalam syairnya:
Wahai Bani Hasyim
Jangan memberi kesempatan siapa saja
berambisi melampaui kalian
apalagi suku Taim atau 'Adiy,
Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut
44 Ath-Thabrani telah merawikan dalam kumpulan hadisnya, Al-Ausath, dari Ummu Salamah, yang berkata:
Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: "Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali.
Kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu kembali denganku di Al-Haudh (di Surga)." (Hadis ini
dinukil dari kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, Pasal II, Bab IX, halaman 74).
45 Ucapannya itu dan kedua bait syair sesudahnya termuat pada berita tentang Saqifah dalam kitab Al-'Iqd Al-
Farid.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 65
bagi seorang dari kalian dan untuk kalian
tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.
Selanjutnya ia berkata46: "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku
terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk kubai'at.
Demi Allah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!"
Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:
Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan
yang ditujukan kepadanya
kecuali dua yang paling hina
keledai kampung dan pasak yang tertanam.
Yang ini terikat tali dalam kehinaan
dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.
Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan
peristiwa pembai'at-an Abu Bakar. Kami (kaum Imamiyah) beranggapan bahwa
perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah
(kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir
Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang
Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu
memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"47
Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka
hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai
hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah
kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para
penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka
46 Ucapannya ini dan kedua bait syair sesudahnya terdapat pada berita tentang Saqifah dalam buku Al-Kamil
karya Ibn Atsir.
47 Dikutip dari Al-Kamil karya Ibn Atsir.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 66
tetapkan sendiri.
Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar
Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam
semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua
orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga
Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan
dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya
beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar
tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk
berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari
dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka48, demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal,
dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para
pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan
yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yang juga dikutip
oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.
Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan
kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan
dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan
kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam
bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-
Balaghah, jilid 1649. Juga dimuat dalam buku Balagh An-Nisa'50, Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lainlainnya
di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah).
48 Shahih Al-Bukhari, juz HI, akhir Bab "Peperangan Khaibar", halaman 36. Juga pada juz IV, halaman 105,
awal kitab "Al-Faraidh" dari Shahih tersebut. Juga disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, juz U, halaman
72, bab "Sabda Nabi SAWW: Kami (para nabi) tidak mewariskan kepada siapa pun; apa yang kami tinggalkan
menjadi sedekah".
49 Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid IV. Yang pertama termuat pada halaman 79, sedangkan yang kedua termuat
pada halaman 87.
50 Penulisnya ialah Abu Al-Fadhl bin Abi Thahir, wafat tahun 280 H. Bacalah halaman 16 dan 23.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 67
Silakan menelaahnya agar Anda lebih yakin tentang pembenaran atau pemaafan terhadap
sikap dan tindakan "para penakwil".
Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya
Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah
pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan
langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita
tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah
seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab
r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum
dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau
memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan
tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi
Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafay Al-A'yn karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina,
rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. Ia telah 'bertakwil'
dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang
Muslim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku
tidak akan membunuhnya karena itu. Ia telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu."
Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun
juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian
Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan
melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi
kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya51.
51 Ada lagi peristiwa Khalid yang terjadi pada masa hidup RasuluUah SAWW. Yaitu tatkala beliau SAWW
mengutusnya kepada suku Judzaimah untuk berdakwah, bukan untuk memerangi mereka. Sebelum itu --di
zaman jahiliyah-- suku Judzaimah tersebut pernah membunuh paman Khalid bernama Al-Fakih bin
Mughirah. Maka segera setelah Khalid tiba di perkampungan mereka, ia memerintahkan: "Letakkan senjata
kalian, sebab semua orang telah memeluk agama Idam." Mereka pun segera meletakkan senjata mereka.
Akan tetapi Khalid memerintahkan penangkapan atas mereka lalu membunuh sejumlah besar dari mereka.
Ketika berita itu sampai kepada Nabi SAWW, beliau mengangkat tangan dan berdoa: "Ya Allah, aku berlepas
tangan dari perbuatan Khalid! (Beliau mengulangi ucapannya ini, dua kali, sebagaimana tercantum dalam
Shahih Al-Bukhari, jilid III, halaman 47, pada bab "Al-Maghazi: Pengutusan Khalid bin Walid ke suku
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 68
Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta
Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam
kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar
dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada
pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-
Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis
yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar
terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."
Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan
para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?
Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal
furu' menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan,
di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah
banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang
mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh
mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan para salaf itu sebagai panutan dalam segala
Judzaimah)".
Selanjutnya, menurut Ibn Atsir dalam bukunya Al-Kamil, juga para penulis buku lainnya, segera setelah
peristiwa tersebut, Rasulullah SAWW mengutus Ali r.a. ke perkampungan suku Judzaimah, seraya membawa
uang, untuk dibayarkan kepada mereka sebagai tebusan atas kematian orang-orang mereka serta kehilangan
harta benda mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan amat teliti, sampai-sampai ia membayar tebusan
untuk tempat minumnya anjing mereka. Kemudian masih ada lagi sisa uang. Maka Ali r.a. bertanya kepada
mereka: "Masih adakah kerugian yangbelum saya bayarkan tebusannya?" Mereka menjawab: "Tidak,
semuanya telah terbayar." Kata Ali selanjutnya: "Kalau begitu, akan kuberikan sisa uang ini kepada kalian,
sebagai ihtiyath (sikap berhati-hati agar tidak sampai kurang) atas nama Rasulullah SAWW" Setelah
menyerahkan uang itu kepada mereka, Ali r.a. kembali pulang dan menyampaikan hal itu kepada Rasulullah
SAWW Maka Nabi SAWW berkata: "Sungguh baik dan benar perbuatanmu itu."
Demikianlah yang dinukilkan oleh para sejarawan dan setiap orang yang menuliskan biografi Khalid,
sedemikian sehingga Ibn 'Abdil Barr, setelah menyebutkan tentang peristiwa tenebut dalam bukunya, Al-
Istijab, menjelaskan: "Berita tentang Khalid tersebut termasuk sahih."
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 69
sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan
sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud
dan tujuan mereka.
Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada
takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan
sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang
tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup
memadai".
Penakwilan tentang Talak Tiga
Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum
mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi
Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.
Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574,
dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan
Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan
Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab
berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka
berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa,
sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya:
Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka52.
Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-
Mar'ah (Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari.
52 Yakni, menjatuhkan talak tiga sekaligus dianggap sebagai talak terakhir sehingga tidak ada kesempatan
untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanita itu kawin lagi dengan seorang pria lainnya lalu menceraikannya lagi
setelah itu). Ketetapan seperti ini, kemudian juga menjadi ketetapan paia imam keempat mazhab fiqih paling
terkenal di kalangan Ahlus-Sunnah. Tetapi, Ibn Taimiyah menyalahi mereka dan memfatwakan bahwa talak
tiga sekaligus hanya dianggap satu saja. Menurut Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahiah, salah seorang penulis
dan ahli fiqih terkemuka masa kini dari Mesir (dalam bukunya Tarikh ALMadzahib Al-Islamiyah, halaman
622), pendapat Ibn Taimiyah ini diambilnya dari mazhab Ahlul-Bayt --Penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 70
Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman
210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha
berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan
dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang
berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam
satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan
bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya
kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.'
'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka
Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika
kau ingin.'53
Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).
Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi54, dan bahwa yang demikian itu
merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat
229-230:
ما م ا ذو
 خ
 
 تا ان م ك
 ل ل ح ي ولا ن سا ح ا ح ب   ري س ت و ا ف رو
 ع م ك ب   سا م ا ف ن تا ر م ق
  طلا ال
53 Disebutkan oleh Ibn Ishaq pada halaman 191, jilid II.
54 Perhatikanlah pula hadis yang dikutip Qasim Amin dalam bukunya, Tahrir Al-Mar-ah, halaman 172, yaitu
yang dirawikan oleh An-Nasa'i, Al-Qurthubi, dan Az-Zaila'i, bahwa Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAWW
pemah diberitahu tentang seorang laki-laki yang telah menjatuhkan talak tiga pada suatu ketika (sekaligus)
kepada istrinya. Maka bangkitlah beliau SAWW dalam keadaan marah lalu bersabda: "Apakah kamu hendak
mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku masih berada di antara kalian?"
Dan juga dalam penafsiran surah Ath-Thalaq dari kitab tafsir Al-Kassyaf terdapat hadis yang sempa.
Mungkin ada orang berkata bahwa hadis ini menunjukkan rusaknya (atau tidak berlakunya) talak tiga sama
sekali lantaran merupakan permainan belaka, seperti yang diriwayatkan dari Said bin Musayyib dan
sekelompok Tabi'in yang berpendapat demikian. Namun yang benar ialah bahwa yang dimaksud sebagai
"tindakan permainan" ini ialah ucapan tsalatsan (tiga kali) yang dianggap sia-sia saja. Adapun ucapan si
suami anti thalig (engkau kucerai) jelas berpengaruh, sebab tidak mengandung permainan di dalamnya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 71
فلا ه - د الل دو
 ح
 ما قي ي
  الا م ت
 ف خ ن ا ف ه - د الل دو
 ح
 ما قي ي
  الا فا خا ي ان لا ا 6 يئا ش ن ه
 مو
 ت
 ي ت ا<
ه- د الل دو
 ح
 د ع ت ي من و ها دو
 ت ع ت فلا ه - د الل
 دو
 ح
 ك ل ه ت ت ب د ت ف ما ا في ما ه ي ل ع ح نا ج


مون
  ظال م ال
 ه
 ك ئ ول F فا
ما ه ي ل ع ح نا ج
  فلا ها ق طل ان ف ه
 ر ي غ 6 وجا ز ح ك تن ى ت ح د
 ع ب من ه
 ل ل ح ت فلا ها ق طل ان ف
مون
 ل ع ي م و ق ها ل ن
 يM ب ي
 ه - د الل
 دو
 ح
 ك ل وت ه - د الل دو
 ح
 ما قي ي
 ان نا ظ ن عا ا ج را ت ي ان
Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami
telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu
ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara
yang baik atau --jika tidak-- melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian
Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya (yakni untuk kali yang
ketiga setelah dua kali talak yang terpisah)... tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu...
(yakni setelah talak yang ketiga)... sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya...
(yakni suami yang kedua).
Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga";
padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya
satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun
perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya
sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.
Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang
berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta
pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah55. Kiranya penjelasan tersebut cukup
memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui
tindakan para penakwil.
55 Dalam bundel IV majalah Al-Manar, halaman 212 ditandaskan bahwa dalam masalah ini, Umar telah
membuat keputusan berdasarkan ijtihadnya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 72
Penambahan dalam Azan Subuh
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada
pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min
an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman
Abu Bakar. Justru khalifah kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW
Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti
yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan
Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang
tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ashshalatu
khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke
dalam azan Subuh.
Al-'Allamah Az-Zarqani --ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha'-- menulis
sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang
dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn
Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari
Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika
engkau sudah menyerukan Hayya 'alal-falaah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ashshalatu
khayrun min an-naum dua kali."
Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat
Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.
Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah
dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz
pertama kitab Shahih Al-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang
sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami
mengenai hal ini.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 73
Di samping itu, banyak di antara para penulis menyebutkan sebuah berita tentang asal mula
disyariatkannya azan56. Walaupun berita itu sendiri ditolak oleh kalangan Imamiyah, namun
kami akan mengutipnya demi menunjukkan kebenaran pernyataan kami di atas tentang
adanya tambahan dalam teks azan.
Ringkasan peristiwa itu ialah bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa'labah Al-Anshari pada suatu
malam bermimpi bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya teks azan dan
igamat. Ketika ia bangun dari tidurnya itu, sebelum fajar, ia ceritakan mimpinya itu kepada
Nabi SAWW. Beliau langsung memerintahkannya agar mengajarkah teks yang dihapalnya
dalam mimpinya itu kepada Bilal. Dan beliau juga memerintahkan Bilal agar
mengumandangkannya pada awal waktu fajar hari itu. Maka Bilal melaksanakannya. Dengan
demikian, menurut yang mereka dakwakan itu, azan telah disyariatkan berdasarkan mimpi.
Nah, kami telah membaca teks azan yang diajarkan oleh Abdullah kepada Bilal tersebut.
Meskipun hal itu adalah azan untuk waktu fajar, namun di dalamnya tidak ada kalimat "ashshalatu
khayrun min an-naum".
Memang, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bukanlah bersumber dari
Allah SWT atau Rasulullah SAWW, amat banyak. Sedangkan apa yang telah kami kemukakan
di atas, cukup kuat memberikan gambaran adanya penakwilan mereka mengenai azan, dan
cukup pula menunjukkan pemaafan bagi para penakwil sepanjang masa57.
Mengurangi Kalimat dalam Azan
56 Imam Malik dalam Al-Muwattha telah menyebutkan peristiwa ini secara ringkai. Tapi Ibn 'Abdil-Bar dan Az-
Zarqani telah membentangkannya dengan panjang lebar. Begitu pula Al-Halabi menyebutkannya dalam buku
Sirah-nya, juz II, pada bab "Azan dan Pensyariatannya". Bahkan setiap ahli sejarah yang menceritakan
riwayat hidup Abdullah bin Zaid pasti menyinggung peristiwa ini. Dan adakalanya mereka menjulukinya
sebagai "si penemu azan". Meskipun demikian, orang-orang dari mazhab kami mengingkarinya dan
menganggapnya satu hal yang mustahil (bahwa azan disyariatkan melalui mimpi seseorang).
57 Imam Syafi'i r.a. -- dalam mazhabnya "yang baru" (al-jadid) -- berpendapat bahwa ucapan "ash-shalatu
khayrun min an-naum" pada azan Subuh, tidak disukai (makruh). Meskipun demikian, sebagian dari muridmuridnya
beranggapan bahwa ucapan tersebut hukumnya sunnah. Lihat An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh
Al-Muhadzab, jilid III, halaman 89, Dar Al-'Ulum li Ath-Thiba'ah, Mesir, tahun 1972 M - Penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 74
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah penghapusan kalimat "Hayya 'ala khayr
al-'amal" (Mari mengerjakan amal paling utama) dari azan dan iqamat. Hal tersebut
disebabkan mereka selalu ingin menggambarkan kepada kaum awam bahwa amal yang paling
terpuji ialah jihad fi sabilillah agar mereka merindukannya dan cenderung melaksanakannya.
Sedangkan seruan kepada shalat sebagai "amal yang paling utama" sebanyak lima kali
sehari58, pasti bertentangan dengan keinginan membangkitkan semangat untuk berperang.
Mungkin saja mereka beranggapan bahwa dengan tetapnya kalimat tersebut dalam azan dan
iqamat akan menghambat kaum awam dari pelaksanaan jihad. Sebab, bilamana mereka
mengetahui bahwa shalat merupakan amalan yang paling utama padahal pelaksanaannya
begitu mudah dan aman, sudah barang tentu mereka akan mencukupkan diri
mengerjakannya dalam upaya memperoleh pahala. Dan karena itu pula, mereka akan
menjauhkan diri dari bahaya yang terkandung dalam jihad, apalagi ia kalah utama
dibandingkan dengan shalat. Padahal kecenderungan pihak waliyul-amri pada waktu itu
(yakni Umar c.s.) tertuju kepada penaklukan negeri di segenap penjuru dunia.
Upaya penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan sudah barang tentu tidak akan terwujud
kecuali dengan menimbulkan semangat para pejuang agar tidak ragu-ragu menerjang bahaya.
Untuk itu hati mereka harus diyakinkan sepenuhnya bahwa jihad adalah amalan paling
utama yang dapat mereka harapkan pahalanya di akhirat kelak.
Oleh sebab itu, Umar lebih cenderung menghapus kalimat itu dari azan, semata-mata demi
mengutamakan kepentingan tersebut di atas keharusan melaksanakan ibadah sesuai
sepenuhnya dengan cara yang diajarkan dalam syariat yang suci. Dan berkatalah ia dari atas
mimbarnya (seperti ditegaskan oleh Al-Qausyaji -- seorang ahli ilmu kalam dalam mazhab Al-
Asy'ari -- dalam bukunya, Syarh At-Tajrid, bab "Al-Imamah"): "Tiga hal yang berlangsung di
zaman Rasulullah SAWW; kini aku melarangnya, mengharamkannya dan menghukum
pelakunya:
1. Nikah mut'ah;
2. Haji mut'ah (tamattu');
58 Bahkan setiap Muslim diharuskan membacanya sepuluh kali setiap hari.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 75
3. Kalimat hayya 'ala khayril 'amal59
Tindakan penghapusan kalimat itu diikuti pula oleh mayoritas kaum Muslim yang datang
kemudian kecuali Ahlul-Bayt serta para pengikutnya. Di kalangan para pengikut Ahlul-Bayt,
kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" tetap dijadikan semboyan mereka, seperti dapat
diketahui dari mazhab mereka. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, ketika Asy-Syahid Al-
Husain bin Ali bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ("alaihim as-salam)
menguasai kota Madinah pada peristiwa pemberontakan di masa Al-Hadi (seorang raja dari
dinasti Abasiyah), ia (Al-Husain) memerintahkan muazin agar mengumandangkan kalimat
tersebut dalam azannya. Hal ini ditegaskan oleh Abu Al-Faraj Al-Isfahani (dalam bukunya
Maqatil Ath-Thalibiyyin) ketika menyebutkan nama Al-Husain serta gugurnya sebagai syahid
pada peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Fakh".
Begitu pula Al-'Allamah Al-Halabi, pada bab "Permulaan Disyariatkannya Azan", dalam buku
sejarahnya As-Sirah Al-Halabiyah, juz II, halaman 110, menceritakan bahwa Ibn Umar r.a.
dan Al-Imam Zainal Abidin bin 'Ali bin Al-Husain selalu menyerukan "Hayya 'ala khayr
al-'amal" sesudah "Hayya 'ala al-falah" dalam azan mereka60.
Perlu ditambahkan di sini bahwa hal ini dirawikan secara muta-watir dari Imam-Imam Ahlul-
Bayt. Silakan menelaah hadis-hadis mereka dalam kitab Wasa-il Asy-Syi'ah ila Ahkam Asy-
Syari'ah, untuk mengetahui pendapat mereka dalam hal ini.
Kita telah membahas tentang tokoh-tokoh dari kalangan salaf yang bertakwil, lalu
meniadakan satu bagian dari azan dan iqamat, tapi hal itu tidak mengurangi kredibilitas
59 Setelah mengutip ucapan Umar itu dan menerimanya tanpa keraguan sedikit pun, ia membenarkan hal itu
sebagai ijtihad dari Umar r.a.
60 Al-Imam Aa-Nawawiy dalam bukunya, At-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab (jilid III, haL 95) berkata, "Makruh
dalam azan mengucapkan 'Hayya 'ala khair al-'amal', sebab tidak pasti bersumber dari Rasulullah SAWW."
Tetapi, Al-Baihaqiy menyebutkan adinya riwayat yang 'mauguf' (berhenti pada) Ibn Umar du Ali (Zainal
Abidin) bin Husain r.a. tentang diserukannya kalimat tersebut. Kata Al-Baihaqiy selanjutnya: "Kalimat ini
tidak pasti benumber dari Raiuhillah SAWW. Karena itu, kami tidak menyukai adanya penambahan dalam
kalimat-kalimat azan. Wallahu a'lam -- Penerj.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 76
mereka untuk menduduki jabatan khilafah dah kepemimpinan umat. Oleh karena itu,
bagaimana mungkin para penakwil setelah mereka tidak bisa dimaafkan. Atau bagaimana
mungkin mereka ini tidak akan memperoleh pahala seperti halnya para penakwil
sebelumnya? Mari kita bertindak jujur dalam menilai mereka.
Menciptakan Tradisi Shalat Tarawih61
Di antara hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada
zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk pertama kali
ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang disepakati oleh para ulama.
Hal ini ditegaskan oleh Al-'Askari dalam keterangannya tentang "Hal-hal Baru yang
Diciptakan oleh Umar", dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang Umar bin
Khaththab, dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa', halaman 51.
Dalam "Riwayat Hidup Umar" dari kita Al-Isti'ab, Ibn Abdil-Bar menulis: "Dia (Umar)-lah
yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap'
(yakni shalat Tarawih)."
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada
rangkaian peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir62, berkata:
"Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat al-aulad (hamba-hamba
perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat
jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat
Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang Imam... dan seterusnya."
Ketika As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa' tentang "Hal-hal Baru
yang Diciptakan oleh Umar r.a.", yang ia kutip dari Al-'Askari, ia berkata: "Dialah orang
61 Tarawih ialah shalat sunnah Ramadhan yang dilakukan dengan berjamaah. Ia dinamakan Tarawih
disebabkan adanya waktu istirahat (tarwihah) di dalamnya sesudah tiap empat rakaat. Tapi kami (kaum
Syi'ah Imamiiyah) melaksanakan shalat sunnah Ramadhan sendiri-sendiri, sebagaimana yang berlaku pada
zaman Rasulullah.
62 Sebelumnya Anda telah tahu bahwa naskah ini termuat pada keterangan bagian tepi (hamisy) Tarikh Ibn
Atsir. Adapun yang kami nukilkan di sini terdapat pada juz II, halaman 122.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 77
pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin..., dan seterusnya," sampai pada keterangan,
"Dialah yang pertama mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan,
yang pertama kali mengharamkan mut'ah, yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah
dengan empat takbir... dan seterusnya."
Berkata Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a. dalam
Ath-Thabaqat, juz III: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam
Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh
negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Ia mengangkat dua qari (imam) di Madinah;
seorang mengimami sembahyang Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk
kaum wanita... dan seterusnya."
Pada akhir juz I, dari kitab Shahih Al-Bukhari, yaitu pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari
merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat
(sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan
diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: "... sedemikian itulah
keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta
sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat
Tarawih").
Muslim, pada bab "Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan", dalam kitab Shahih-nya, juz I,
telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar
menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa
mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda: Barangsiapa mengisi malam-malam bulan
Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada Allah, niscaya akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah SAWW berpulang ke rahmatullah,
keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan
Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a.
Pada pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin 'Abd (Al-Qari)63
63 Nama lengkap 'Abdur-Rahman 'Abd (Al-Qari) ialah Ibn Daisy bin Muslim bin Ghalib Al-Madani. Abdur-
Rahman ini pada waktu itu adalah pejabat Umar dalam menguruti Bayt Al-Mal. la adalah sekutu Bani
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 78
katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid.
Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari
lainnya, Umar berkata: "Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang
dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menetapkan niatnya itu dan
mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Sesudah itu
--kata 'Abdur-Rahman-- pada malam yang lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara
orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika
menyaksikan itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!"
Pada awal halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-'Allamah Al-
Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni, "Alangkah
baiknya bid'ah ini"), berkata: "Ia menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah SAWW tidak
menyunatkan kepada mereka untuk menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum
pemah ada di zaman Khalifah Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang
pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni
duapuluh rakaat seperti sekarang)."
Keterangan seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak
diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan Anda
cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya pemaafan-pemaafan bagi para
penakwil.
Penakwilan dalam Ayat tentang Zakat
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah yang berkenaan dengan firman Allah SWT tentang
ayat zakat. Mereka telah menghapus bagian yang disediakan bagi para muallaf dan yang
ditentukan berdasarkan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu, pada hakikatnya, merupakan
sesuatu yang diketahui secara pasti sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Agama (ma'lum
min ad-din bi adh-dharurah). Telah disepakati secara meluas di kalangan semua golongan
kaum Muslim bahwa Nabi SAWW senantiasa memberikan kepada mereka (para muallaf)
bagian mereka itu, sampai saat akhir hidup beliau. Dan bahwa beliau tidak pernah berpesan
Zuhrah. Meninggal dunia pada tahun 80 H, dalam usia 78 tahun.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 79
kepada siapa pun untuk menghapus bagian tersebut.
Pengarang kitab Al-Jauharah An-Nayyirah 'ala Mukhtashar Al-Quduri64 dalam bidang fiqh
mazhab Abu Hanifah, pada halaman 164, juz I, menyebutkan: "Beberapa dari para muallaf
datang menghadap Abu Bakar r.a. --sepeninggal Nabi SAWW-- agar ia memberikan bagian
mereka seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan surat perintah membayar bagian tersebut
(dari uang zakat), dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bayt Al-
Mal) untuk menerimanya. Akan tetapi Umar menyobeknya seraya berkata: 'Kami tidak
membutuhkan kalian lagi! Allah telah memenangkan Islam dan karenanya, kalian boleh pilih:
memeluk agama Islam atau kami jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dan kalian!'
Orang-orang itu segera kembali menemui Abu Bakar dan berkata: 'Andakah yang menjadi
khalifah atau dia?' Jawab Abu Bakar: 'Dia, insya Allah!' Dengan itu, Abu Bakar menyetujui
dan menetapkan keputusan Umar. Dan sejak itu pula, jumhur (mayoritas) kaum Muslim
memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para muallaf. Sedemikian kuatnya
ketetapan itu sehingga seandainya seseorang memberikan sebagian dari zakatnya kepada
para muallaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara
sepenuhnya65."
64 Kitab ini merapakan salah satu dari kitab fiqh berdasarkan mazhab Abu Hanifah yang paling terkenal,
bahkan para pengikut mazhab Hanafi ber-tabarruk denguwya mengingat kedudukan tinggi penulisnya.
Kutipan kami tentang masalah tersebut sesuai sepenuhnya dengan yang dikenal pada ucapan-ucapan pada
ahli fiqih lainnya, serta para ahli hadis.
65 Para ahli tarikh menyebutkan pula peristiwa hampir serupa seperti ini. Yaitu bahwa 'Uyainah bin Hushain
dan Aqra' bin Hubais datang menghadap Abu Bakar dan berkata: "Di tempat kami ada sebidang tanah
gersang yang rumput pun tidak tumbuh di atasnya dan tidak berguna tedikit pun. Maukah Anda
memberikannya kepada kami, mudah-mudahan ia menjadi bermanfaat kelak." Maka Abu Bakar bertanya
kepada orang-orang di sekitarnya: "Bagaimanakah pendapat kalian?" Jawab mereka: "Tidak mengapa!"
Segera Abu Bakar menulis surat (penyerahan hak) untuk kedua orang itu dan memerintahkan agar surat itu
dibubuhi tanda tangan Umar sebagai saksi. Akan tetapi Umar mengambil surat itu dari mereka, lalu
menghapus tulisan itu dengan ludahnya. Perbuatan Umar ini membuat kedua orang itu marah dan
mengomel dengan kata-kata yang kurang enak. Mereka pergi menemui Abu Bakar lagi seraya berkata
kepadanya; "Demi Allab, kami tidak tahu apakah Anda yang menjadi Khalifah atau Umar?" Jawab Abu
Bakar : "Memang dia!" Beberapa saat kemudian, datanglah Umar dan sambil bersungut-sungut ia berkata
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 80
Mengubah Ketetapan tentang Khumus
Di antara penakwilan mereka ialah yang berkaitan dengan ayat Al-Quran tentang khumus
(seperlima harta). Yaitu firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal: Ketahuilah, sesungguhnya
apa saja dari ghanimah66 yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlimanya untuk
Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika67
memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Anfal: 41).
Tetapi, berlawanan dengan ayat ini, mereka menyerahkan seperlima harta (khumus) itu
kepada Abu Bakar: "Katakanlah kepadaku; apakah tanah yang Anda berikan kepada dua orang ini, memang
milik Anda pribadi atau milik kaum Muslim?" Abu Bakar menjawab: "Milik kaum Muslim." Maka Umar
bertanya lagi: "Apa sebabnya Anda memberikannya kepada kedua orang ini?" "Aku telah bermusyawarah
dengan orang-orang di sekitarku", jawab Abu Bakar. "Tetapi", kata Umar lagi, "Adakah Anda telah
bermusyawarah dengan seluruh kaum Muslim lalu mereka menyetujui?" Maka Abu Bakar berkata: "Memang,
dahulu pemah kukatakan bahwa Anda sesungguhnya lebih kuat dari diriku untuk memikul jabatan ini,
namun Anda sendiri yang memaksaku!"
Kisah di atas telah dikutip oleh Ibnu Abi Al-Hadid pada juz XII, dari kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III,
halaman 108. Begitu pula Al-Asqallni dalam kisah riwayat hidup 'Uyainah dalam bukunya, Al-Ishabah.
Sayang, mengapa Umar tidak bermusyawarah dengan segenap kaum Muslim pada peristiwa pembai'at-an
Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah? Dan tidakkah lebih baik, seandainya ia bertindak bijaksana dan
menunggu sampai Bani Hasyim selesai menyelenggarakan pemakaman jenazah Nabi SAWW?
66 Ghanimah menurut bahasa berarti "memperoleh sesuatu." Arti ini lebih luas daripada perolehan dari hasil
rampasan perang. Dengan ini pula Anda dapat mengetahui kaitan ayat ini dengan persoalan khumus
(seperlima dari harta kekayaan) dalam mazhab kami (Syi'ah Imamiyah).
67 Arti kalimat yang dimulai dengan "jika" dalam ayat ini ialah bahwa khumus (atau seperlima) dari hasil yang
kamu peroleh telah dikhususkan untuk keenam obyek yang tersebut (yakni Allah, Rasul-Nya, kerabat beliau,
anak yatim, fakir-miskin dan ibnus-sabil) ... maka putuskan sama sekali ambisi kalian untuk menikmatinya
dan bayarkanlah kepada yang berhak, "... jika kalian benar-benar beriman kepada Allah..!" Jelas, bahwa ayat
ini mengandung ancaman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan pembayaran khumus sesuai dengan
ayat tersebut.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 81
kepada selain orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Imam Malik seperti yang diketahui dalam mazhabnya, berpendapat bahwa khumus itu
semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan Penguasa Negeri; boleh saja diberikan olehnya
kepada siapa pun juga, dan tidak seorang pun berhak menuntutnya.
Adapun Imam Abu Hanifah, seperti yang diketahui dalam mazhabnya, telah membagi harta
khumus menjadi tiga bagian;
1. diberikan kepada yatim piatu kaum Muslim;
2. para fakir miskin;
3. para ibnu-sabil.
Menurut pendapatnya, tidak ada perbedaan antara kerabat Rasul dan lainnya.
Padahal Anda mengetahui bahwa nash Al-Quran telah menandaskan adanya hak dalam
khumus itu, khusus bagi kerabat Rasul. Anda pun memaklumi bahwa Sunnah Nabi SAWW
telah menetapkan adanya hak (saham) mereka di dalamnya, yang tidak gugur kewajiban
mengeluarkannya kecuali dengan memberikannya kepada mereka. Bahkan semua golongan
(mazhab) dari umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAWW dikhususkan baginya sebagian
dari khumus itu dan sebagiannya yang lain khusus untuk sanak kerabatnya. Beliau tidak
pernah berpesan kepada siapa pun untuk mengubah cara pembagian itu sampai beliau pulang
ke rahmatullah.
Namun ketika Abu Bakar menduduki jabatan sebagai khalifah, ia menakwilkan dalil-dalil
tentang itu lalu menghilangkan hak (saham) Nabi SAWW dan keluarganya, ia menolak
membagikan bagian dari khumus itu kepada Bani Hasyim. (Sebagaimana tercantum dalam
penafsiran ayat tersebut pada kitab tafsir Al-Kasysyaf, dan lain-lainnya).
Pada akhir bab "Peperangan Khaibar", kitab Shahih Al-Bukhari, juz III, halaman 36,
disebutkan bahwa Fathimah a.s. pernah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk
menanyakan tentang harta warisannya dari Rasulullah SAWW, yaitu yang berupa hasil fa'i68
68 Fa'i adalah harta yang didapat dari orang yang tidak beragama Islam dengan jalan damai, atau pajak, bea
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 82
di kota Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima bagian harta rampasan perang Khaibar.
Namun Abu Bakar menolak untuk menyerahkan kepadanya. Sebagai akibatnya Fathimah a.s.
marah kepadanya, tidak mau menyapa dan berbicara dengannya sampai beliau (Fathimah)
meninggal dunia, hanya enam bulan sepeninggal ayahandanya, Rasulullah SAWW dan ketika
ia wafat, suaminya (Ali r.a.) menguburnya di malam hari, secara rahasia. Dan tidak
memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematian istrinya itu, dan karena itu pula Abu
Bakar tidak ikut menshalati jenazahnya.
Peristiwa tersebut juga dapat dijumpai keterangannya dalam Shahih Muslim, jilid II, halaman
72, pada bab: "...Kami, para nabi, tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah
sedekah." Keterangan seperti itu dijumpai pula dalam beberapa bagian dari Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim.
Pada akhir pasal "Jihad" dalam kitab Shahih-nya, juz II, Muslim telah merawikan dari Qais
bin Sa'ad, dari Yazid bin Hurmuz, katanya: Najdah bin Amir (dari kelompok Khawarij)
pernah menulis surat kepada Ibn Abbas, dan aku menyaksikan Ibn Abbas ketika membacanya
lalu menulis jawabannya sambil berkata: "Demi Allah, seandainya aku tidak ingin
mencegahnya daripada kebusukan yang menjerumuskannya, niscaya aku tidak akan mau
menulis kepadanya." Maka Ibn Abbas menulis jawaban kepadanya: "Engkau telah bertanya
tentang bagian (saham) bagi para kerabat Rasul SAWW yang disebutkan oleh Allah, siapakah
mereka itu? Ketahuilah, sejak dahulu kami meniahami bahwa yang dimaksud dengan kerabat
Rasul SAWW ialah 'kami' Yakni, Bani Hasyim --Penerj.). Namun kaum kami telah menolak
memberikannya kepada kami."69
Hadis tersebut dirawikan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz 1, halaman 294.
Demikian pula ahli hadis lainnya, semuanya dengan saluran-saluran yang shahih. Dan yang
demikian itu sesuai pula dengan mazhab Ahlul-Bayt dalam hadis-hadis mutawatir yang
cukai, harta orang murtad, hadiah dan lain-lainnya. Lihat kitab Fiqh Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan
VII, halaman 445 - Penerj.
69 Shahih Muslim, juz II, pada awal halaman 105, cetakan tahun 1327 H, penerbit Al-Halabi dan kedua
saudaranya.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 83
bersumber dari para Imam a.s.
Mengurangi Takbir dalam Shalat Jenazah
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah pelaksanaan shalat jenazah dengan empat takbir
saja, sebagaimana yang diketahui dari buku-buku fiqh empat mazhab serta praktek mereka.
Adapun yang pertama menghimpun jamaah kaum Muslim untuk melakukannya ialah Umar
bin Khaththab r.a. Amat banyak yang menyatakan hal itu, antara lain As-Sayuthi dalam
bukunya, Tarikh Al-Khulafa', ketika menyebutkan "Hal-hal yang Dipelopori oleh Umar". Juga
Ibn Syuhnah ketika mengisahkan meninggalnya Umar pada peristiwa-peristiwa tahun ke-23
H, dalam Tarikh-nya, Raudhat Al-Manazhir dan lainnya.
Cukuplah bagi Anda sebagai petunjuk adanya penakwilan mereka, mengenai persoalan ini,
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Arqam, pada halaman
370, juz IV dalam Musnad-nya dari Abd Al-A'la yang berkata: "Aku pernah shalat jenazah di
belakang Zaid bin Arqam, lalu ia bertakbir sebanyak lima kali. Seorang bernama Abu 'Isa
'Abdur-Rahman bin Abu Laila menghampirinya seraya menggandeng tangannya dan berkata:
'Lupakah engkau?' Tidak!" jawab Zaid, Tetapi aku pernah shalat jenazah di belakang
kekasihku, Rasulullah SAWW dan beliau bertakbir sebanyak lima kali. Maka aku tidak akan
meninggalkannya, selama-lamanya'."
Larangan Menangisi Mayat
Di antara penakwilan mereka ialah larangan menangisi orang mati, sesuatu yang telah
diharamkan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a. Ketika menyebutkan tentang
kematian Abu Bakar pada bab "Peristiwa-peristiwa Tahun ke-13" dalam kitab Tarikh-nya, juz
IV, Ath-Thabari merawikan dengan sanad Sa'id bin Al-Musayyib, yang berkata: Ketika Abu
Bakar r.a. berpulang ke rahmatullah, 'Aisyah r.a. mengumpulkan beberapa wanita untuk
meratapinya. Kemudian datang Umar bin Khaththab dan seraya berdiri di balik pintu, ia
melarang wanita-wanita itu menangisi kematian Abu Bakar. Namun mereka tidak
mempedulikannya. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, "Masuklah dan suruh
putri Ibnu Quhafah (yakni 'Aisyah) agar ia keluar!" Ketika 'Aisyah mendengar perintah Umar,
ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kamu memasuki rumahku!" Tetapi Umar tetap
berkata kepada Hisyam: "Masuklah! Aku mengizinkan engkau!" Maka masuklah Hisyam lalu
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 84
ia menggiring Ummu Farwah (saudari Abu Bakar) keluar untuk menghadap Umar. Segera
Umar menderanya dengan cemeti sampai beberapa kali, sehingga wanita-wanita lainnya
berhenti menangis ketika mendengar hukuman yang dijatuhkan Umar.
Umar melakukan hal itu, padahal Imam Ahmad merawikan dari Ibn Abbas (dalam Musnadnya,
jilid I, halaman 335), dalam rangka menyebutkan peristiwa kematian Ruqayyah putri
Rasulullah SAWW serta ratapan kaum wanita atasnya, dengan berkata: "... Umar mendera
mereka dengan cambuknya. Maka Rasulullah SAWW bersabda: 'Biarkan mereka menangis!'
Kemudian Rasulullah SAWW duduk di tepi kuburannya, sedangkan Fathimah (putri beliau)
duduk di sampingnya seraya menangis." Ibn Abbas melanjutkan: "Maka Nabi SAWW
menghapus air mata Fathimah dengan baju beliau sebagai rasa kasihan terhadapnya."
Dalam Musnad-nya. pula (juz II, halaman 333), Imam Ahmad telah merawikan sebuah hadis
dari Abu Hurairah, katanya: "Pemah ada iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAWW
Beberapa wanita mengiringi jenazah itu sambil menangisinya, lalu Umar menghardik mereka.
Maka bersabdalah Rasulullah SAWW: Biarkanlah mereka itu (menangis), sesungguhnya jiwa
(mereka) itu sedang tertimpa musibah sehingga mata mencucurkan air mata."
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis di halaman 40 dalam Musnad-nya, dari Abdullah
bin Umar, yang berkata: Tatkala Rasulullah SAWW pulang dari perang Uhud, sekelompok
kaum wanita Anshar menangisi suami-suami mereka yang telah gugur. Maka berkata
Rasulullah SAWW: "Kasihan Hamzah, tidak ada wanita-wanita yang menangisinya." Setelah
itu beliau pergi tidur sejenak dan ketika ia terjaga, dilihatnya kaum wanita meratapi Hamzah.
Maka beliau bersabda: "Begitulah, seharusnya mereka menangisi Hamzah."
Hadis ini dikenal secara meluas di kalangan kaum Muslim. Ibn Jarir, Ibn Atsir, penulis kitab
Al-'Iqd Al-Farid, serta para ahli sejarah selain mereka telah meriwayatkan hadis tersebut.
Pada bagian riwayat hidup Hamzah, dalam buku Al-Isti'ab, yang dikutip dari Al-Waqidi,
disebutkan: "Tidak seorang wanita pun dari kaum Anshar --setelah mendengar sabda Nabi
SAWW, 'Kasihan Hamzah, tidak ada yang menangisinya.'-- yang hendak menangisi seorang
dari keluarganya, kecuali ia memulai dengan menangisi Hamzah terlebih dahulu."
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 85
Ketika mengisahkan riwayat hidup Ja'far dalam Al-Isti'ab-nya, Ibn 'Abd Al-Bar berkata:
Ketika datang kepada Nabi Muhammad SAWW berita tentang kematian Ja'far, beliau
mengunjungi istrinya, Asma' binti Umais, untuk ber-takziah. Kemudian masuklah Fathimah
seraya menangis dan berseru, "Aduhai pamanku!" Maka berkatalah Rasulullah SAWW:
"Untuk orang-orang seperti Ja'f ar inilah, hendaknya ratap tangis kaum wanita itu ditujukan."
Dalam kitab Shahih-nya, (bab "Jenazah", halaman ketiga) Al-Bukhari merawikan bahwa
Rasulullah SAWW telah menangis atas kematian Zaid dan Ja'far. Demikian pula Ibn 'Abd Al-
Bar (pada bagian riwayat hidup Zaid dalam Al-Isti'ab) menyebutkan bahwa Rasulullah
SAWW telah menangisi Ja'far dan Zaid, dan beliau berkata: "Aduhai saudara-saudaraku,
penghibur-penghiburku dan kawan-kawan berbincangku...!"
Beliau juga menangis pada waktu kematian putranya, Ibrahim, sehingga bertanyalah Abdur-
Rahman bin 'Auf (sebagaimana yang tercatat pada juz I dari Shahih Al-Bukhari), "Anda juga
menangis, ya Rasulullah?" Jawab beliau: "Wahai Ibn 'Auf, sesungguhnya ini adalah (tanda)
rahmat." Kemudian beliau menangis lagi seraya bersabda: "Mata ini mencucurkan air mata
dan hati bersedih. Namun tidak sebaiknya kita mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai
Allah. Sungguh kami sangatlah sedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim."
Semua orang mengetahui tentang ratap tangis Rasulullah SAWW atas kematian pamannya,
Hamzah, sedemikian sehingga Ibn 'Abd Al-Bar, pada bagian biografi Hamzah dalam Al-
Isti'ab, berkata: "Ketika Rasulullah SAWW menyaksikan Hamzah telah terbunuh, beliau
menangis. Dan ketika dilihatnya tubuhnya dicincang, beliau terisak-isak."
Tercantum di akhir halaman 387, dalam kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, juz III, Al-Waqidi
menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW, pada waktu terjadinya musibah itu, setiap kali
melihat Safiyah (bibi Nabi SAWW dan saudara Hamzah) menangis, beliau pun menangis, dan
setiap kali Safiyah terisak-isak beliau pun seperti itu. Demikian pula pada peristiwa kematian
Ja'far tersebut, Fathimah menangis, dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya demikian,
beliau pun ikut menangis.
Pada peristiwa lainnya, Rasulullah SAWW pernah menangis atas kematian seorang bocah
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 86
dari salah seorang putrinya. Menyaksikan hal itu, Sa'ad bertanya (seperti tercantum dalam
kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim): "Bagaimana ini, ya Rasulullah?" Jawab Nabi SAWW:
"Inilah pengaruh rahmat yang ditanamkan Allah dalam kalbu hamba-hamba-Nya. Sungguh
Allah SWT hanya akan merahmati hamba-hamba-Nya yang senantiasa hatinya penuh
rahmat."
Masih banyak lagi hadis semacam ini yang tiada terbilang banyaknya, dan tidak mungkin
memaparkannya secara keseluruhan di sini. Cukuplah sekadar ini saja.
Adapun mengenai berita yang dirawikan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
bahwa "orang mati akan disiksa karena ratap tangis keluarganya", atau dalam riwayat lain
"disiksa oleh sedikit tangisan keluarganya atasnya", atau dalam riwayat lain "diazab karena
tangis yang hidup", atau riwayat lainnya lagi "disiksa dalam kuburannya disebabkan ratap
tangis atas dirinya", atau dalam riwayat lain lagi "bahwa barangsiapa yang ditangisi akan
disiksa"; maka semua ini merupakan kesalahan si perawi, baik menurut hukum 'aql (akal)
ataupun naql (nukilan).
Telah berkata An-Nawawi ketika membahas riwayat-riwayat tersebut pada bab "Orang Mati
Diazab Karena Tangisan Keluarga Atasnya", dalam bukunya Syarh Kitab Shahih Muslim:
"Semua riwayat ini bersumber dari Umar bin Khaththab dan putranya, Abdullah bin Umar."
Kata An-Nawawi selanjutnya: "Aisyah menyanggah ucapan kedua mereka itu." seraya
menyatakan bahwa hal tersebut semata-mata akibat kealpaan atau kesalahpahaman.
Kemudian Aisyah menunjuk kepada firman Allah:
... Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain. (Al-An-'am: 164).
Selain yang disebutkan oleh An-Nawawi, Ibn Abbas r.a. telah menolak pula riwayat-riwayat
tersebut dan menegaskan bahwa hal itu disebabkan kesalahan perawinya. Penjelasan tentang
hal itu dapat dibaca dalam kedua kitab Shahih serta Syarh-nya. Pendapat Aisyah mengenai ini
bertentangan secara diametral dengan pendapat Umar, sedemikian sehingga ia
menyelenggarakan ratapan ketika ayahnya (yakni Abu Bakar) meninggal dunia. Dan pada
saat itu terjadi kericuhan antara mereka, seperti telah Anda baca sebelum ini. Rincian
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 87
peristiwa ini termuat dalam buku kami berjudul, Al-Asalib Al-Bada'iyah fi Rujhani Ma'atim
Asy-Syi'ah. Juga dalam mukadimah Majalisuna Al-Fakhirah fi Ma'atim Al-'Itrah Ath-
Thahirah, yang telah dicetak tahun 1332 H.
Aneka Kasus Lainnya (Secara Singkat)
Masih ada lagi kasus-kasus penakwilan mereka selain yang telah kami ketengahkan di atas.
Seperti penggeseran yang mereka lakukan terhadap maqam Nabi Ibrahim a.s. ke tempatnya
yang sekarang70, yang tadinya menempel pada Baytullah (Ka'bah). Juga perluasan Al-Masjid
Al-Haram pada tahun 17H dengan menggabungkan beberapa rumah penduduk sekitamya,
walaupun para pemiliknya menolak untuk menjualnya. Namun Umar r.a. merobohkannya
secara paksa lalu menitipkan uang harganya di Bayt Al-Mal sampai pada akhirnya mereka
menerimanya71.
Demikian pula vonis yang dijatuhkannya atas sekelompok orang Yaman agar mereka
membayar diyat (denda pembunuhan) Abu Khirasy Al-Hudzali, seorang penyair dari
kalangan Sahabat yang terkenal72. Sebelum itu, mereka datang bertamu di rumah Abu
Khirasy. Ketika Abu Khirasy keluar mencari air untuk mereka, seekor ular menggigitnya
sehingga ia mati. (Maka Umar menghukum mereka karena itu).
Juga hukuman pembuangan ke kota Basrah yang dijatuhkan oleh Umar atas diri Nashr bin
Hajjaj, semata-mata karena seorang wanita cantik memujanya dalam nyanyian73.
70 Yang menggesernya ialah Khalifah Kedua (Umar), sebagaimana diketahui secara meluas. Silakan Anda baca
pada halaman 113, kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, cetakan Mesir. Juga kitab Hayat Al-Hayawan di
bawah judul DYK karangan Ad-Dumairi. Ibn Sa'ad, ketika menyebutkan riwayat hidup Umar dalam
Thabaqat-nya mengatakan: "Dialah yang memerintahkan penggeseran maqam Ibrahim a.s. ke tempatnya
sekarang, yang tadinya menempel pada Baitullah. Juga As-Sayuthi telah mengutip keterangan seperti itu
perihal kehidupan Umar dalam kitab Tarikh Al-Khulafa'."
71 Semua ahli sejarah menegaskan hal tersebut dalam buku-buku mereka. Antara lain, Ibn Atsir dalam
bukunya, Al-Kamil, pada keterangan tentang peristiwa tahun itu.
72 Ibn 'Abd Al-Bar telah menyebut kejadian ini dalam Al-Isti'ab-nya, pada bagian riwayat hidup Abu Khirasy.
Begitu pula Ad-Dumairi, yang mengutipnya dalam bukunya, Hayat Al-Hayawan.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 88
Ada juga peristiwa Umar berkaitan dengan hak warisan yang dibagi antara datuk dan saudara
sekandung, yang pada akhirnya, Umar membatalkan keputusannya semula dan kemudian
mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit Al-Ahshari74.
Demikian juga penakwilannya terhadap firman Allah SWT tentang larangan memata-matai.
Hal itu dilakukannya karena berpendapat bahwa tindakan tersebut bermanfaat bagi negara
maupun rakyat. Oleh sebab itu, ia melakukan patroli rahasia pada siang maupun malam hari
untuk memata-matai rakyat dan mengawasi tindakan kejahatan yang mungkin mereka
rencanakan. Al-Ghazali menyebutkan dalam Ihya 'Ulum Ad-Din, bahwa ketika Umar
melakukan patroli rahasia di malam hari, ia mendengar --di salah satu perkampungan kota
Madinah-- seorang laki-laki yang sedang bersenandung menyanyikan lagu di dalam
rumahnya. Lalu Umar memanjat pagar untuk mengintainya dan dilihatnya laki-laki itu
berduaan dengan seorang wanita dan sebotol khamr di hadapannya.
Maka Umar berkata kepadanya: "Wahai musuh Allah, apakah kau kira Allah akan
menutupimu sedangkan engkau bermaksiat terhadap-Nya?" Orang itu menjawab: "Sekiranya
aku melakukan satu maksiat, Anda telah melakukan tiga maksiat sekaligus. Allah SWT telah
berfirman: Jangan memata-matai! (Al-Hujurat: 12); sedangkan Anda memata-matai. Dan
Allah telah berfirman: Tidaklah termasuk kebaikan jika kamu mendatangi rumah-rumah
melalui 'punggung' (belakang)-nya ... (Al-Baqarah: 189); sedangkan Anda telah meloncati
pagar rumahku. Dan Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya ... (An-Nur: 27); sedangkan Anda telah memasuki rumahku tanpa izin ataupun
salam!" Maka Umar berkata: "Apakah engkau ingin kembali ke jalan yang baik, andaikata aku
memaafkan engkau?" Jawab orang itu: "Ya." Maka Umar meninggalkan orang itu dan segera
73 Kisah ini sudah dikenal secara meluas. Anda dapat membaca rinciannya dalam Syarh Nahj Al-Balaghah karya
Ibn Abi Al-Hadid (jilid III, halaman 99). Juga Ibn Khallikan dalam Wafayat-nya menyebut kisah ini pada
riwayat hidup Nashr bin Hajjaj. Hampir teperti itu pula, hukuman pemukulan dan pcmbuangan oleh Umar
atas diri Dhabi' At-Tamimi, gara-gara ia menanyakan kepada Umar tentang tafsir sebuah ayat Al-Quran.
Peristiwa itu disebutkan oleh ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, halaman 122.
74 Termuat dalam hamisy kitab Awarif Al-Ma'arif, juz II, halaman 173.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 89
keluar.
Masih banyak lagi kasus yang ditangani oleh Umar berdasarkan ijtihad atau penakwilannya
yang menyimpang dari pengertian nash-nash yang jelas. Semua itu semata-mata demi
memperkukuh bangunan politik kenegaraan dan demi memudahkan pengelolaan segala
urusannya. Yaitu dengan mendahulukan kepentingan kerajaan dan mengutamakan
pembinaan kekuatan lebih daripada menerapkan nash-nash itu secara konsekuen.
Seperti penetapan pajak kharaj atas penduduk daerah-daerah Irak dan sekitamya, cara
pengaturan jizyah, pembentukan panitia syura (untuk memilih khalifah sepeninggalnya).
Juga seperti dalam ucapannya pada waktu itu: "Andaikata Salim (bin Ma'qal, hamba sahaya
Abu Hudzaifah) masih hidup, niscaya akan kuangkat ia sebagai khalifah penggantiku75.
Padahal telah disepakati (secara ijma')76 berdasarkan nash maupun fatwa, mengenai tidak
sahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan umum (imamah) kepada seseorang seperti dia.
Hal itu mengingat bahwa ia (Salim) dari bangsa Parsi (dari kota Isthakhr atau Kirmid) yang
menjadi budak dari istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari kaum Anshar.
75 Ucapan Umar ini diriwayatkan secara meluas (mutawatir), antara lain, dapat dibaca dalam buku Al-Kamil
(Tarikh Ibn Atsir) atau buku-buku tarikh lainnya. Ketika meriwayatkan ucapan Umar ini, pada bagian
riwayat hidup Salim dalam bukunya, Al- Isti'ab, Ibn 'Abd Al-Bar menegatkan bahwa ucapan tersebut sematamata
berdasarkan ijtihad Umar. Ahmad (bin Hanbal) merawikan ucapan Umar pada halaman 20, kitab
Musnad-nya sebagai berikut: "Seandainya masih hidup salah satu dari dua orang, Salim (maula Abu
Hudzaifah) dan Abu 'Ubaidah, niscaya aku akan mempercayakan (jabatan khilafah) ini kepada mereka."
76 Amat banyak di antara para ulama yang menegaskan tercapainya ijma' mengenai hal itu (yakni tidak sahnya
seorang budak atau bekas budak menduduki jabatan sebagai khalifah). Di antara yang menegaskannya, An-
Nawawi dalam bab "Al-Imarah" (Kepemimpinan) dari bukunya, Syarh Shahih Muslim. Bahkan sekiranya
Anda meneliti bab tersebut dalam Shahih Muslim, niscaya Anda akan lebih mengerti lagi tentang (hak dan
keabsahan) Imam-imam yang Dua Belas as.
Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah – Abatasya Islamic Website (http://abatasya.net) 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar